Media dan Tragedi Muslim Dunia

Kekerasan terhadap umat Islam adalah tragedi kemanusiaan yang terabaikan media dunia.

Anggota keluarga Rahul Solanki, yang terbunuh dalam bentrokan antara gerombolan Hindu dan Muslim yang memprotes undang-undang kewarganegaraan baru, menangis di luar kamar mayat di New Delhi, India, Rabu, 26 Februari 2020.(AP/Altaf Qadri)

Tentara paramiliter India berjaga saat Muslim Kashmir menunaikan shalat Jumat di jalan di luar masjid setempat saat jam malam di Srinagar, India, Jumat (16/8).(AP Photo/Mukhtar Khan)

Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arba’iyah Satriani, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung

Menyaksikan informasi tentang kekerasan terhadap Muslim India akhir-akhir ini, kemudian sebelumnya Muslim di Uyghur Cina juga mengalami hal senada lalu pembantaian dan pengusiran terhadap Muslim Rohingya di Myanmar, muncul sebuah pertanyaan, ada apa dengan Muslim dan Islam saat ini? Mengapa para Muslim di ketiga negara tersebut mengalami hal yang sangat buruk dan bahkan melampaui batas kemanusiaan serta melanggar HAM?

Di sisi lain, sebagian besar media massa tak cukup nyaring menyuarakan hal tersebut. Bukannya kabar itu tidak ada di media arus utama tetapi suaranya lemah. Media sosial juga tak begitu gempita memviralkan kejadian tersebut. Sebagian malah menginformasikan tak semua orang di sana jahat, tetap ada yang baik dan membantu. Meskipun informasi itu baik tetapi tak cukup membantu.

Kita semua tahu bahwa selalu ada pihak yang baik dan sebaliknya dalam kondisi apa pun. Memang kabar baik itu bisa menjadi angin segar tetapi kita perlu langkah yang lebih besar dan masif daripada itu untuk membantu saudara Muslim yang teraniaya.

Kekerasan dan kekejian yang dialami Muslim di (setidaknya) tiga negara itu adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang ‘terabaikan’ oleh sebagian kalangan dan media. Meskipun kasus dan penyebabnya berbeda, tetapi kesamaan dari ketiganya adalah mereka semua merupakan minoritas di negaranya. Dalam banyak situasi, minoritas seringkali menjadi pihak yang diabaikan bahkan dilupakan hak-haknya.

Pertanyaannya adalah tidak adakah suatu cara untuk menghentikan kekerasan dan kekejian tersebut? Apa penyebab utama sehingga minoritas Muslim begitu tak disukai? Mengapa Muslim sedemikian ditakuti sehingga ada kesan seperti ingin “melenyapkan” mereka? Kemudian, apakah tidak ada Muslim -perorangan atau komunitas- dengan kekuasaan yang besar dan kuat yang dapat membela para minoritas ini sehingga aksi-aksi yang melanggar HAM tersebut dapat dihentikan?

Mengutip pernyataan Horn McLamb B dalam artikel yang berjudul “Is the Fear of Islam Rational?” yang dimuat di Journal of Political Sciences & Public Affairs (2016), ketakutan pada Islam (dan Muslim) adalah tidak rasional. Ia yang melakukan penelitian di Amerika Serikat mengatakan bahwa ketakutan pada Islam dilandasi oleh kesalahan persepsi mengenai agama ini dan kurangnya pengetahuan mengenai agama ini menyebabkan ketakutan itu menyebar.

Menurut McLamb dalam artikel tersebut, media di Amerika tidak membantu untuk menghilangkan atau meredakan Islamophobia. Karena justru setiap kali menyalakan televisi, yang diinformasikan adalah sesuatu yang buruk tentang Islam. “Dan jika seseorang hanya melihat yang buruk maka mereka lebih cenderung berpikir semuanya buruk dan bahwa tidak ada sesuatu yang baik di dunia atau dalam Islam,” ujarnya.

Karena kiblat media salah satunya adalah Amerika maka Islamophobia pun menyebar ke berbagai negara melalui media masing-masing. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan saat ini bahwa era digital telah mempercepat dan memperluas penyebaran informasi apapun menjadi sangat masif.

Di masa lalu, penyebaran informasi tidaklah sederas masa kini. Media arus utama sebagai produsen informasi (berita) menjadi tulang punggung dalam menjaga agar penyebaran informasi tidak keliru. Bagaimanapun, media arus utama masih menjadi panduan bagi sebagian besar massa dalam mencari berita/informasi. Bisa saja ada kejadian viral di media sosial atau nonmedia, tetapi untuk mengecek kebenarannya, sebagian orang masih merujuk pada media arus utama yang kredibilitasnya lebih tepercaya.

Karena itu, peran media arus utama di era digital sekarang justru semakin vital. Tak peduli berapa sering “ditinggalkan” atau diabaikan oleh masyarakat karena lebih mudah dan murah mengakses media sosial, tetapi disiplin verifikasi yang dimiliki media arus utama masih menjadi panglima.

Disiplin verifikasi yang ketat serta penerapan prinsip-prinsip jurnalisme lainnya menjadi sebuah peluang untuk meluruskan berbagai kekeliruan dan kesalahan persepsi tersebut. Dengan catatan, jika media memang mau melakukannya. Dengan kata lain, kesalahan persepsi dan ketidakpahaman sebagian masyarakat pada Islam, menjadi sebuah tantangan komunikasi bagi media massa arus utama.

Yang kerap kali menjadi masalah adalah media arus utama terseret dalam permainan politik yang membuat mereka tak lagi sepenuhnya independen dalam memberitakan/menginformasikan sesuatu. Termasuk informasi mengenai hal-hal buruk yang dialami para Muslim di berbagai belahan dunia, khususnya akhir-akhir ini adalah yang berada di India, Cina (Uyghur) dan Rohingya (Myanmar).

Bahwa media massa membawa visi dan misinya dalam memberitakan informasi, kita paham sepenuhnya. Namun yang harus diingat oleh para pemilik media dan juga pucuk pimpinan media massa arus utama adalah, bisnis media massa bukan semata mencari keuntungan. Menjalankan bisnis media massa berarti menjalankan tugas mengedukasi masyarakat, menerapkan idealisme, membela yang lemah dan menjadi pemantau kekuasaan yang cenderung korup.

Tanpa landasan tersebut, media massa hanya menjadi entitas bisnis dengan tujuan mendapatkan keuntungan semata. Padahal, untuk dapat bertahan hidup media massa arus utama saat ini harus bersaing dengan media sosial dan pengelola konten nonmedia yang cenderung lebih disukai oleh masyarakat. Keberpihakan yang benar akan memalingkan wajah masyarakat kepada media arus utama lagi. Masyarakat akan mengetahui tempat terbaik untuk mendapatkan informasi yang sudah diverifikasi.

Jika media arus utama lebih suka diam atau malah menjadi penyebar ketakutan pada Islam dan Muslim, maka media tengah membiarkan dirinya menjadi tidak populer di masyarakat. Pada ujungnya, masyarakat akan benar-benar meninggalkan media arus utama. Kita tentu tak menghendaki terjadinya hal tersebut.

Di sisi lain, penyebaran informasi mengenai Islam dan Muslim oleh para Muslim yang berada di berbagai tempat, menjadi sebuah jalan bagi media massa untuk meliputnya. Muslim tak seharusnya menutup diri dari identitas kemuslimannya hanya karena adanya kebencian sebagian orang/kalangan.

Kalau Muslim di berbagai belahan dunia melakukan hal baik, terus-menerus, ada peluang untuk terekam dan tertangkap media. Untuk hal ini diperlukan strategi yang jitu oleh para Muslim. Meskipun tidak mudah, tetapi hal tersebut bisa dilakukan. Pada bagian lain artikelnya, McLamb menyarankan agar Muslim mengizinkan pihak di luar Islam terlibat dalam aktivitas mereka. Tujuannya, mengurangi kesalahpahaman sekaligus menginfokan hal-hal yang belum terungkap tentang Islam.

Di atas semua itu, seharusnya media massa arus utama menjadi pelopor dalam mengakhiri berbagai tragedi kemanusiaan terhadap Muslim di mana pun. Sinergi antara Muslim dengan media akan memperkuat hal tersebut. Banyak sekali tantangan lain di dunia seperti kemiskinan dan dampak perubahan iklim, ketimbang sekadar menakuti perkembangan Islam dan Muslim di dunia. Kekuatan media akan membantu mengatasi tragedi kemanusiaan jika media kembali kepada khittahnya sebagai pilar keempat demokrasi dan menjalankan peran mulia sebagai pengusung informasi yang objektif.

 
Berita Terpopuler