Lima Isu Utama yang Dibahas di KTT Kuala Lumpur

KTT Kuala Lumpur berupaya memperbaiki banyak kesalahpahaman tentang Islam.

AP Photo/Lai Seng Sin
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menyampaikan pidato di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kuala Lumpur di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis (19/12). KTT Islam tersebut bertujuan mengatasi islamofobia dan solusi atas tantangan dunia Muslim.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Sejumlah pemimpin negara Muslim bertemu di Kuala Lumpur, Malaysia, dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kuala Lumpuryang dimulai Kamis (19/12) hingga Sabtu (21/12). Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memimpin pertemuan yang dihadiri oleh sejumlah kepala negara, termasuk Presiden Iran Hassan Rouhani, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.

Menurut penyelenggara, setidaknya 250 delegasi asing dari 52 negara dan 150 delegasi Malaysia mengikuti KTT Islam ini. Mereka termasuk pejabat pemerintah, cendekiawan dan pimpinan dari berbagai sektor non-pemerintah.

Sekretaris Jenderal KTT Islam Malaysia, Samsudin Osman, mengatakan pertemuan itu berupaya menghasilkan solusi guna mengatasi keadaan kaum Muslim di seluruh dunia. Acara tersebut juga berupaya memperbaiki banyak kesalahpahaman tentang Islam sebagai agama.

"Kami membutuhkan sesuatu yang konkret yang dapat diterapkan oleh pemerintah yang berkomitmen terhadap gagasan itu," kata Osman, dilansir di Aljazirah, Kamis (19/12).

Berikut lima isu utama yang dibahas di KTT Islam Kuala Lumpur.

Krisis pengungsi Rohingya

Lebih dari 730 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar sejak kekerasan yang dilancarkan militer Myanmar di negara bagian Rakhine pada Agustus 2017. Banyak dari mereka kini tinggal di negara tetangga Bangladesh, yang merupakan negara mayoritas Muslim.

PBB menyebut tindakan militer Myanmar terhadap warga Rohingya adalah tindakan genosida. Sementara warga Rohingya yang masih bertahan di negara itu menghadapi risiko genosida yang serius.

Sementara itu, Myanmar berdalih tindakan keras itu dilakukan untuk membasmi terorisme. Kasus tersebut kemudian dibawa oleh Gambia atas nama OKI ke Mahkamah Internasional di Den Haag.

Penahanan massal warga Uighur di China

Di wilayah otonomi Xinjiang di China, penduduk minoritas Uighur dan kelompok Muslim etnis Turki lainnya ditahan di kamp-kamp yang dibangun pemerintah China. Pemerintah menggambarkan kamp tersebut sebagai pusat pelatihan keterampilan vokasi yang diperlukan untuk mengatasi ekstremisme.

PBB memperkirakan sekitar satu juta orang ditahan di kamp-kamp tersebut. Namun, pejabat utama Pentagon untuk Asia, Randall Schriver, mengatakan pada Mei lalu bahwa angka itu kemungkinan mendekati tiga juta warga yang ada di kamp penahanan.

Para aktivis menuduh China berupaya mengintegrasikan orang-orang Uighur secara paksa ke dalam mayoritas Han China. Di samping, menekan mereka untuk melepas ajaran agama mereka, seperti beribadah shalat dan tidak memakan daging babi dan alkohol.

Meski di awal China menyangkal keberadaan kamp tersebut, negara komunis itu kemudian membela kebijakannya. Dalam sebuah opini yang dipublikasikan pada Selasa, anggota Parlemen Malaysia untuk koalisi yang berkuasa, Charles Santiago, mendesak para pemimpin di KTT KL untuk mengangkat masalah tersebut.

Dia mengatakan, Malaysia tetap diam tentang serangan terhadap Uighur tersebut. Negara-negara Muslim lainnya juga dikritik karena sikap diamnya mereka, termasuk 14 anggota OKI lantaran mereka memiliki hubungan ekonomi yang luas dengan China.


 
Berita Terpopuler