Kamis 31 Oct 2019 11:30 WIB

Masjid Said Naum, Menafsir Lokalitas ke dalam Modernitas

Meru di Masjid Said Naum ditegakkan dengan empat soko guru.

Masjid Said Naum
Foto: Republika/Prayogi
Masjid Said Naum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebentuk meru mencuat dari sela-sela pucuk pohon sawo kecik dan jamblang di Jalan Kebon Kacang IX, Jakarta Pusat. Ketika Republika menelusuri hingga ke balik kerimbunan pepohonan buah tadi, ternyata meru tersebut merupakan atap Masjid Said Naum. Di puncaknya, terpasang empat pengeras suara yang mencorong ke arah mata angin dengan hiasan logam berbentuk bulan bintang.

Arsitek Masjid Said Naum, Adhi Moersid dari Atelier Enam, memang sengaja menggagas masjid beratap meru dan tanpa minaret atau menara ala masjid Timur Tengah. Dalam rancangan yang memenangkan kompetisi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta era Ali Sadikin itu, Adhi menawarkan rancangan masjid yang berpijak kepada nilai-nilai arsitektur tradisional Indonesia.

Meru, yang dalam bahasa Sansekerta berarti gunung, biasa juga disebut dengan atap limasan. Atap tanpa bubungan ini acap digunakan bangunan peribadatan di seantero Jawa sebelum kedatangan Islam ke Indonesia, seperti bangunan kuil yang sampai sekarang bisa dijumpai di Bali. Selain untuk rumah ibadah, atap meru juga sering digunakan menaungi wantilan, semacam rumah penyabungan ayam.

Atap meru yang berpuncak tunggal punya kedudukan sakral bagi masyarakat nusantara pra-Islam. Mereka memburu puncak tinggi semacam gunung dan menjadikannya tempat pemujaan dewa-dewi karena memiliki jarak yang terdekat dengan langit. Karena itu, meru dalam bangunan berfungsi sebagai axis mundi atau sumbu transendental yang menghubungkan dunia manusia dan Sang Pencipta.

Islam datang ke nusantara secara damai melalui perdagangan dan akulturasi dengan budaya setempat. Karena itulah, para wali tak memberangus rumah ibadah yang ditinggalkan pengikutnya setelah mereka berbondong-bondong masuk Islam. Kuil-kuil itu bersalin fungsi menjadi masjid, hal yang sama berlaku terhadap wantilan yang tak lagi punya aktivitas setelah judi diharamkan.

Meru di Masjid Said Naum ditegakkan dengan empat soko guru. Si arsitek 'memangkas' meru itu di tengah dan memutar potongan sebelah atas sebanyak 45 derajat. Hasilnya adalah atap saling tumpang dengan jurai membias dari pusat ke delapan penjuru mata angin.

“Maknanya, Sang Pencipta ada di mana saja,” kata Adhi seperti tercantum dalam dokumen perancangan.

Selain dengan atap, kaca patri dengan motif ikonoklastis yang abstrak di jurai-jurai meru bagian atas juga ditonjolkan untuk mempertegas makna pusat. Tak lupa, kaso atap pun diekspos untuk memperkuat kesan itu. Terakhir, Adhi menyelesaikan citra ruang yang memusat sekaligus membias tadi dengan meletakkan lampu gantung besar sebagai titik fokus ruang shalat utama.

Adhi mencuplik bentuk meru dan menanamkannya ke Masjid Said Naum tak hanya karena makna filosofisnya. Volume curah hujan mengguyur Jakarta yang beriklim tropis terbilang berarti. World Meteorological Organisation mencatat, hujan membasahi ibu kota sebanyak 1.633 milimeter per inci per tahun. Karena itu, kemiringan atap meru cocok untuk menggelincirkan hujan secepatnya ke drainase.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement