Yasonna Sebut Amnesti Biasanya untuk Kasus Politik

Namun pengajuan amnesti Baiq Nuril adalah opsi paling memungkinkan.

Republika/Prayogi
Terpidana kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Baiq Nuril memberikan keterangan bersama Menkumham Yasonna Laoly, Anggota DPR Rieke Diah Pitaloka dan kuasa hukumnya usai melakukan pertemuan digedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin (8/7).
Rep: Riza Wahyu Pratama Red: Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly telah mempertimbangkan pengajuan amnesti bagi Baiq Nuril. Menurutnya, hal itu adalah opsi paling memungkinkan. Walaupun pada kenyataanya, amnesti selama ini diberikan untuk kasus politik, Senin (8/7).

Baca Juga

"Amnesti memang dalam perkara yang ada di Indonesia, kejahatannya untuk kasus-kasus politik," kata Yasonna di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jalan Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan.

Kemudian, ia menceritakan bahwa amesti pernah diberikan oleh Presiden Pertama, Ir Soekarno. Pada tahun 1954, Soekarno pernah memberikan amnesti untuk pelaku pemberontakan PRRI/Permesta. Ketika itu, amnesti dapat diberikan setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. "Dulu Bung Karno mengeluarkan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia nomor 11 tahun 1954 (tentang amnesti dan abolisi)," ujar Yasonna.

Setelah membaca undang-undang tersebut, Yasonna berpandangan, di dalam pasal satu tidak disebutkan batasan mengenai tindak pidana. Sehingga hal itu menjadi pertimbangan pemberian amnesti kepada Baiq Nuril. "Jadi tidak ada limitasi untuk tidak pidana apapun," ucapnya.

Dasar hukum selanjutnya untuk mengeluarkan amnesti tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945 amandemen. Dalam pasal 14 ayat dua disebutkan, Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Selanjutnya, terkait dengan pertimbangan DPR, Menkumham optimistis bahwa amnesti akan segera disetujui. Pasalnya ia telah mendengar, anggota parlemen turut mendukung rencana tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, Yasonna mengungkapkan bahwa kasus Baiq Nuril memiliki dimensi politik yang kuat. Hal itu berkaitan dengan ketimpangan relasi pria dan wanita. Menurutnya, jika kasus tersebut tidak dihentikan, dikhawatirkan korban kekerasan dan pelecehan seksual takut untuk bersuara.

Meskipun demikian, Yasonna tetap menghormati keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak PK Baiq Nuril. Ia menyatakan bahwa MA hanya mampu memutuskan hukum secara Judex Juris. Sehingga, MA hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara. Mereka tidak memeriksa fakta dari perkara tersebut.

 

 
Berita Terpopuler