Menjadi Insan Ideal

Dahaga akan siraman rohani selalu dialami setiap manusia.

Yogi Ardhi/Republika
Umat Islam, ilustrasi
Rep: Nashih Nasrullah Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dahaga akan siraman rohani selalu dialami setiap manusia. Proses pencarian dan upaya memperbaiki diri melalui olah batin biasa ditempuh setiap insan oleh lintas gerenasi. Kebutuhan itu muncul sebagai sebuah reaksi atas fenomena kerusakan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Kesadaran itu juga didorong oleh kepekaan hati nurani serta moralitas atas berbagai problematika keprofanan yang muncul pada sebuah komunitas. Ketajaman nurani itu pulalah yang mendorong Abu Abdullah al-Harits bin Asad bin Ma’qil al-Hamdani al-Muhasibi (243 H) hidup di penghujung kekuasaan Dinasti Abbasiyahmelakukan analisis dan penilaian kritis terhadap penyimpangan yang terjadi di masanya.

Kerusakan moral yang terjadi kala itu dipandang cukup akut. Tidak hanya melanda kalangan awam, tetapi juga mewabah di level para ulama dan cendekiawan. Al Muhasibi lewat beberapa catatannya memberikan pelajaran penting tentang cara menyikapi problematika keumatan.

Al-Muhasibi menuangkan analisis dan penilaian kritisnya itu dalam sebuah kitab bertajuk al-Washaya. Awalnya, al-Muhasibi tidak langsung memberikan tajuk besar bagi kitabnya itu. Ia memang sering tak memberi judul kitab-kitab yang ditulisnya. Sepanjang hidupnya, ia menulis lebih dari 200 risalah dan sebagiannya tak diberi judul.

Dari beberapa kitab itu, ada yang masih berupa manuskrip. Karya al-Muhasibi yang masih berbentuk manuskrip antara lain Adab an-Nufus, Ahkam at-Taubah, dan Risalah at-Tasawwuf. Dari sebagian karya yang berbentuk manuskrip itu ada yang telah musnah, antara lain kitab Akhlaq al-Hakim, At-Tafakur wa al-I’tibar, dan Ad-Dima’.

 
Berita Terpopuler