Pancasila dan Pluralisme Agama

Islam dan Pancasila saling menguatkan dan mendung pluralitas

Republika/Mardiah
Ilustrasi Pancasila
Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Faisal Ismail, Guru Besar FIAI UII Yogyakarta

Sebagai titik tolak pembahasan tulisan ini, perlu dirujuk kamus besar berstandar internasional untuk memahami secara benar pengertian plural, pluralitas, dan pluralisme.

Menurut The Random House Dictionary of the English Language, kata ‘plural’ berarti “pertaining or involving a plurality of persons or things” (berkenaan atau melibatkan banyak orang atau hal). Kata ‘plurality’ (pluralitas) berarti “state or fact of being plural” (keadaan atau fakta yang bercorak majemuk).

Kata ‘pluralism’ (pluralisme) berarti “a theory that reality consists of two or more independent elements” (suatu teori bahwa realitas terdiri atas dua unsur independen atau lebih).

Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa inti pengertian kata plural, pluralitas, dan pluralisme adalah sama, yaitu sama-sama mengandung pengertian kemajemukan, keberagaman, keberbagaian, dan kebinekaan. Kata ‘plural’ dipakai untuk menujukkan kata sifat, kata ‘pluralitas’ dipergunakan untuk menunjukkan keadaan atau fakta yang bercorak majemuk, dan kata pluralisme dipakai untuk menunjukkan pandangan atau paham tentang kemajemukan.

Kata plural, pluralitas, dan pluralisme dapat dipakai dan diterapkan ke dalam berbagai konteks dan wacana. Misalnya, pluralitas budaya, pluralisme budaya, pluralitas sosial, pluralisme sosial, pluralisme politik, pluralisme hukum, pluralitas pemikiran, pluralisme mazhab, dll. Poin penting yang perlu dicatat adalah makna pluralitas dan pluralisme sama sekali tidak mengandung pengertian menyamakan semua hal.

Pluralisme politik tidak berarti menyamakan semua aliran dan pandangan politik. Pluralisme sosial tidak berarti menyamakan semua unsur dan aspek-aspek kehidupan sosial. Begitu pula, pluralisme agama tidak berarti menyamakan semua agama yang ada di dunia ini.

Alquran, pluralitas, dan pluralisme
Pluralitas masyarakat tampak pada kemajemukan ras, bangsa, dan etnis. Masing-masing kelompok ras, bangsa, dan etnis tadi memiliki warna kulit, rambut, dan ciri-ciri fisik yang berbeda satu sama lain. Ada yang berkulit putih dan berambut pirang, ada yang berkulit kuning dan berambut hitam lurus, ada yang berkulit hitam dan berambut keriting, dan ada pula yang berkulit sawo matang dan berambut hitam. Ada yang berbahasa Arab, Persia, Urdu, Turki, Indonesia, Inggris, Jerman, Rusia, Cina, dan Perncis dll.

Pluralitas bangsa dan etnis ini sudah merupakan “sunnatullah” sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Alquran, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan langit dan bumi dan aneka ragam bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, dalam keragaman yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS ar-Rum: 22).

Masing-masing bangsa dan etnis mempunyai adat istiadat, tradisi, seni, bahasa, dan budaya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain. Pluralitas masyarakat dan budayanya memang dikehendaki oleh Allah dengan maksud agar kelompok-kelompok masyarakat yang hidup berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu bisa saling mengenal satu sama lain.

Pluralitas dan pluralisme terlihat pula pada kemajemukan dan keberagaman agama yang dianut oleh masing-masing komunitas agama di dunia ini. Ada yang menganut Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, Konghucu, dll. Saya tidak melihat ada yang salah dengan pluralisme agama.

Pluralitas agama dan pluralisme agama tidak perlu dikhawatirkan dan tidak perlu dipersalahkan. Sifat beragam, keadaan atau fakta yang bercorak beragam, dan pandangan atau paham tentang keberagamaan dalam kehidupan keagamaan sudah menjadi realitas sosial yang hidup, ada, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat manusia.

Menurut saya, umat Islam boleh, bisa, dan tidak masalah menerima pluralisme agama dalam arti umat Islam menghormati, menghargai, dan mengakui keberadaan dan kemajemukan (bukan “kebenaran”) agama-agama di luar Islam. Sedangkan “kebenaran” agama-agama di luar Islam diserahkan kepada klaim teologis para penganut agama yang bersangkutan.

Dalam konteks ini perlu diperhatikan, suatu hal yang tidak boleh dilakukan dan harus dihindari adalah sinkretisme agama yang memandang semua agama adalah sama atau mencampuradukkan elemen-elemen ajaran dari berbagai agama menjadi agama baru.

Pancasila, pluralisme, dan agama
Para Pendiri Republik ini telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Dilihat dari perspektif kebangsaan, dapat dikatakan bahwa Pancasila merupakan titik temu semua kelompok etnis, semua kelompok masyarakat, semua aliran politik, dan semua komunitas agama yang ada di Tanah Air yang dinamakan Indonesia.

Sejauh menyangkut komunitas-komunitas agama, Pancasila merupakan titik temu kebersamaan, titik temu persatuan, titik temu kerukunan, titik temu toleransi, titik temu kenegaraan, dan titik temu kebangsaan sebagai bangsa Indonesia. Pancasila telah mempersatukan semua elemen-elemen masyarakat, semua suku, dan semua komunitas agama.

Di sinilah makna posisi strategis dan signifikansi Pancasila sebagai wadah, perekat, pengikat, dan penguat persatuan bangsa, toleransi, dan kerukunan antarumat beragama.

Pancasila berfungsi sebagai payung besar, kukuh, dan kuat yang di bawahnya bernaung berbagai agama yang ada di Indonesia. Di bawah naungan sejuk Pancasila, berbagai agama, seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan berbagai kepercayaan lokal eksis di seluruh Indonesia. Pancasila mengakui keberadaan, keberagaman, dan kemajemukan agama yang ada di Indonesia.

Tidak ada agama atau kelompok komunitas agama yang di-exclude (dikeluarkan) dari bumi dan naungan Pancasila. Pancasila bersifat fair dan berlaku adil terhadap semua komunitas agama yang ada di Indonesia. Pancasila tidak membedakan keberadaan agama-agama dan eksistensi komunitas-komunitas agama. Di bawah naungan Pancasila, semua umat beragama yang ada di Indonesia adalah warga negara Indonesia yang memiliki status kewarganegaraan dan kebangsaan yang sama.

Semua kelompok dan komunitas agama di Indonesia mengakui dan meyakini bahwa kelima sila dalam Pancasila sejalan dan tidak bertentangan dengan ajaran agama masing-masing. Itu berarti Pancasila disambut dan diterima baik oleh semua komunitas agama di Indonesia. Pancasila dan agama memang tidak bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan.

Rais Syuriah Nahdlatul Ulama, KH Muhfudz Shiddiq, pada tahun 1990-an mengatakan bahwa negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sudah final, bukan merupakan negara sementara dan bukan pula merupakan negara antara. Dalam ungkapan bahasa sekarang, NKRI dan Pancasila merupakan ‘harga mati.’

Pancasila bersikap netral dan inklusif. Ia tidak memihak kepada agama tertentu dan juga tidak memihak kepada komunitas agama tertentu. Bukan tugas dan fungsi Pancasila untuk mengakui “kebenaran” suatu agama atau semua agama yang ada di Indonesia.

Pancasila menyerahkan klaim kebenaran ajaran agama itu kepada para pemeluk agama masing-masing. Pancasila tidak mensinkretisasi ajaran agama-agama. Pancasila tidak mencampuri doktrin akidah dan ibadah yang diajarkan oleh masing-masing agama. Pancasila menyerahkan doktrin akidah dan tata cara beribadah itu kepada masing-masing komunitas agama.

Pancasila sebagai konsepsi hidup kebangsaan dan kenegaraan tidak mengatur –apalagi mencampuri– doktrin transendental-Ilahiyah yang diajarkan oleh masing-masing agama. Tugas dan fungsi utama Pancasila adalah mengatur praktik berbangsa dan bernegara menuju persatuan, kesatuan, toleransi, dan kerukunan.

 
Berita Terpopuler