Enam Kitab Hadis, Sumber Otoritatif Kedua Sesudah Alquran

Enam Kitab Hadis, Sumber Otoritatif Kedua Sesudah Alquran

Urdua.com/ca
Banyak hadis shahih yang meriwayatkan keutamaan mimpi berjumpa Rasulullah SAW.
Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID,  Mayoritas kaum muslimin memandang bahwa keenam kitab Hadis (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i, dan Sunan Ibn Majah), merupakan sumber otoritatif kedua sesudah Alquran. Dan sekaligus merupakan cerminan dari perkataan dan perbuatan (sunnah) Nabi SAW. Berikut kitab hadis yang menjadi sumber para ulama:

Shahih Bukhari


Shahih Bukhari merupakan ringkasan dari judul kitab Al-Jami' al-Shahih al-Musnad min Hadisi Rasulillah SAW wa-Sunnanihi wa-Ayyamih. Kitab ini disusun oleh Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzibah al-Ja'fi al-Bukhari, yang kemudian lebih dikenal dengan Imam Bukhari.

Ia lahir di Kota Bukhara, Uzbakistan, 21 Juli 810. M. Secara formal Imam Bukhari memulai pendidikan di tempat kelahirannya sendiri. Ketika usianya menginjak 11 tahun, ia telah hafal dua buah kitab Hadis karya Ibn al-Mubarak dan Waqi', lengkap dengan pandangan-pandangan ulama yang terkandung dalam kedua kitab tersebut.

Pada tahun 210 H, ia bersama ibu dan saudaranya menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Pesona Kota Makkah dengan ulama-ulama hadis yang mumpuni membuat Imam Bukhari betah dan tidak kembali ke negeri asal bersama ibu dan saudaranya.

Di Makkah itulah, Imam Bukhari mulai merintis jalan untuk meneliti dan menyaring Hadis. Dan atas dorongan gurunya, Ishaq Rahawaih, ia berhasil memperoleh prestasi besar dalam pengumpulan Hadis-hadis shahih dengan menerapkan seleksi ketat dan waktu yang cukup panjang. Hadis-hadis yang ia kumpulkan inilah yang kemudian membawa dirinya menjadi pemuka ahli Hadis sepanjang zaman.

Dalam kumpulan kitab shahihnya, Imam Bukhari, memasukkan sekitar 9.082 hadis dari 100 ribu Hadis yang telah dihafalkan dan 600 ribu hadis yang beredar di kalangan masyarakat. Menurut Ibn Hajar, hadis yang masuk dalam al-Jami' al-Shahih itu hanya 2.761 saja yang bersih, sementara yang lainnya adalah hadis pengulangan dalam beberapa tempat. Sedang menurut Ibn Shalah hadis yang bersih hanya 2.602 saja.

Secara umum, ulama-ulama hadis memandang, Shahih Bukhari memiliki nilai paling tinggi dibanding kumpulan kitab-kitab hadis lainnya. Hal ini dikarekan karakteristik keshahihan dalam Shahih Bukhari lebih sempurna, demikian pula syarat yang diterapkannya lebih ketat. Menurut Bukhari, sebuah hadis dapat dikatagorisasikan sebagai shahih jika memenuhi persyaratan sebagai berikut. Pertama, sanadnya harus bersambung yang berarti periwayatan sanadnya tidak terputus. Kedua, perawi harus memenuhi kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuan, dan standar akademis. Ketiga, harus ada informasi positif tentang perawi yang menerangkan bahwa mereka saling bertemu muka, dan para murid belajar langsung dari shekh hadisnya. Keempat, bagi tokoh seperti Nafi' dan Zuhri misalnya, maka murid-murid yang meriwayatkan harus tergolong dalam kategori pertama, yaitu mereka yang banyak pergaulannya dengan guru.

Sistematika lain yang menandai keunikan Shahih Bukhari adalah tentang peletakan kitab dan bab. Dr Ahmad Amin dan Dr Ali Hasan Abd Kadir membagi Jami' al-Shahih dalam 97 kitab dan 3.450 bab. Sementara, dalam sejarah kirmani dan naskah sindi masing-masing hanya terdapat 72 kitab dan 63 kitab. Perbedaan ini, disebabkan adanya beberapa bab yang dihitung sebagai kitab atau sebaliknya. Dalam syarh kirmani semua dihitung sebagai bab, sedang dalam naskah sindi semua dihitung sebagai kitab.

Shahih Muslim

Shahih Muslim berada setingkat di bawah Shahih Bukhari. Penyusunnya adalah Abu al-Husein Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi. Ia lahir di Naisabur, 204. H. Tidak banyak sumber yang dapat menjelaskan tentang keluarga dan masa kanak-kanak Imam Muslim. Namun yang jelas, para usia 15 ia mulai intensif mempelajari Hadis. Sebagaimana Imam Bukhari, kegairahan Imam Muslim mendalami Hadis menjadikan dirinya sebagai tokoh utama di jajaran ahli hadis setelah Bukhari.

Lebih longgar dibanding kriteria Imam Bukhari, Muslim menerima perawi yang semasa, walau tidak bertemu secara langsung. Secara umum, metode Imam Muslim dalam kitab shahihnya adalah sebagai berikut. Pertama, ia tidak meriwayatkan suatu Hadis kecuali pada perawi yang adil, kuat hafalannya, jujur, amanah, dan tidak pelupa. Kedua, ia tidak meriwayatkan kecuali Hadis musnad (sanadnya lengkap), muttasil (sanadnya bersambung), dan marfu' (disandarkan) kepada Nabi Muhammad.

Di sisi lain matan-matan (isi/kandungan) hadis yang semakna beserta sanadnya diletakkan pada satu tempat, dan tidak dipisah dalam beberapa bab yang berbeda. Ia juga tidak mengulas sebuah hadis kecuali karena sangat perlu diulang untuk kepentingan sanad atau matan. Sedang hadis yang lafaznya berbeda, diterangkannya dengan penjelasan yang singkat.

Begitu pula jika seorang perawi mengatakan haddatsana (dia menceritakan kepada kami), dan perawi lain mengatakan akhbarana (dia mengabarkan kepada kami), maka Imam Muslima akan menjelaskan lafadz ini. Apabila, sebuah hadis diriwayatkan oleh orang banyak dan terdapat beberapa lafaz yang berbeda, ia akan menerangkan bahwa lafaz yang disebutkan itu berasal dari si fulan.

Sama halnya dengan Bukhari, Imam Muslim tidak membuat judul pada setiap bab secara praktis. Ia hanya mengelompokkan Hadis dalam tema-tema tertentu dalam satu tempat. Sistematika ini pulalah yang kemudian dijadikan pijakan oleh para pensyarah dalam menentukan bab-bab dalam Shahih Muslim.

Dari sekitar 300 ribu hadis yang diketahui--menurut Ahmad bin Salamah, Imam Muslim hanya memasukkan 12 ribu hadis termasuk hadis-hadis yang terulang. Menurut Khalil Ibrahim Mulakhathar, jika yang tak diulang dihitung, maka jumlah hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim ada 4.616 hadis. Dan jumlah 12 ribu hadis dari sekitar 300 ribu hadis yang diketahui selama masa penyusunan 15 tahun adalah bukti yang menunjukkan ketelitian dan kecermatan Muslim dalam menyusun kitab Shahihnya.

Baca Juga

Sunan Abu Daud

Istilah sunan, (jamak dari kata sunnah, yang maksudnya adalah Sunnah Rasulullah SAW) menunjuk bahwa judul-judul yang terkandung di dalamnya berpatokan pada judul-judul subjek umum seperti thaharah (bersuci), salat, zakat, puasa, haji, dan seterusnya. Biasanya, kitab sunan tidak memuat hadis-hadis yang berkaitan dengan moralitas, sejarah, zuhud, dan lain-lain. Karenanya, dalam kitab sunan bukan hanya hadis shahih yang dikemukakan, tetapi mencakup pula hadis-hadis dhaif yang diberi catatan seperlunya oleh pengarang.

Hal seperti ini, dilakukan karena menurut Abu Daud, hadis-hadis dhaif yang tidak terlalu lemah memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada pendapat para sahabat. Dalam pandangannya, tak ada satu pun yang layak dijadikan pegangan setelah Alquran selain hadis. Pemakaian opini sahabat hanya setelah tidak ditemukan nash yang berhubungan dengan suatu hukum tertentu.

Dalam kitab sunannya, Abu Daud berhasil menyeleksi sekitar 4.800 hadis tanpa terulang dari sekitar 500 ribu hadis. Menurut pengakuannya sendiri, hadis-hadis yang dihimpun itu beberapa di antaranya berkatagori shahih, mendekati shahih, dan dhaif. Hadis-hadis shahih dicirikan dengan tiadanya penjelasan tentang mertabat dan kualitas Hadis. Sedang hadis-hadis yang mendekati shahih pada prinsipnya hampir sama kedudukannya dengan Hadis shahih. Perbedaannya, hanya terletak pada 'adalah (sikap adil) serta shiddiq (jujur)-nya perawi. Sedang hadis-hadis yang diberi penjelasan secukupnya berarti ia berkualitas dhaif.

Menurut Abu Sulaiman al-Khataby, kitab Sunan Abu Daud memiliki susunan topik-topik yang lebih baik daripada kitab yang ditulis Bukhari dan Muslim. Ia langsung membagi Hadis-hadis yang dikumpulkannya dalam bentuk bab dan kitab. Secara keseluruhan, ada 1.871 bab dan 95 kitab.

Sampai Abu Daud meninggal, 21 Februari 889 M di Kota Bashrah, Kitab Sunannya mendapat perhatian besar dari para ulama hadis. Manifestasi dari berbagai perhatian itu antara lain dengan munculnya kitab syarh (penjelasan) dan mukhtashar (ringkasan). Beberapa di antaranya adalah Aun al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud karya Syamsul Haq Azimabadi dan Badli al-Majhud fi Hall Abi Daud karya Khalil Ahmad Anshari (W. 1346 H). Keduanya merupakan dua kitab syarh terbaik yang sampai saat ini masih bisa didapatkan.

Sunan Tirmidzi


Imam Tirmidzi, ulama hadis yang lahir di Transoksania pada 822 M, menurut Ibn Hajar, memiliki klasifikasi guru yang terbilang unik. Guru-guru Tirmidzi tersebut dapat dikatagorikan dalam tiga peringkat. Mereka yang mendahului Tirmidzi, mereka yang menjadi sumber riwayat langsung, dan mereka guru-guru khusus. Menurut beberapa ulama, Tirmidzi tergolong sebagai ulama yang produktif menulis.

Namun dari seluruh karya tulisnya, bidang hadis mendapat perhatian yang paling besar. Salah satu karyanya yang monumental dalam bidang hadis adalah yang berjudul Sunan al-Tirmidzi. Kitab hadis ini terbagi dalam 50 bab (akhir-akhir ini semua kitab ditulis dalam bentuk bab dan kitab), 3.956 buah hadis, dan meliputi 8 pokok bahasan hukum. Ciri khusus Sunan al-Tirmidzi adalah terletak pada adanya penjelasan tentang isnad (sandaran) hadis serta komentar-komentar dari para imam mazhab.

Kriteria lain yang juga belum dimiliki pengumpul Hadis sebelumnya adalah perihal istilah baru berkenaan dengan kualis Hadis. Menurut Ibn Taimiyyah, al-Tirmidzi adalah tokoh pertama yang secara resmi menggunakan istilah hasan (baik). Di samping itu ia juga banyak menitikberatkan penialian tentang periwayat Hadis melalui kaidah al-Jarh wa Ta'dil (cacat dan benar).

Ketelitiaan dan kecermatan Tirmidzi terlihat jelas dalam penerapan sistematika isnad dalam al-Sunan. Di samping mengikuti jejak gurunya, Imam Muslim, Tirmidzi merumuskan sistem isnad baru dengan cara mengumpulkan beberapa isnad dalam satu Hadis. Ia juga kadangkala memberi tambahan lafadz (komentar) terhadap perbedaan riwayat yang terjadi.


Sunan Nasa'i

Nasa'i terkenal sangat selektif dalam meriwayatkan Hadis. Dalam mengomentari selektifitas Nasa'i, Ibn Shalah mengatakan, bahwa Nasa'i berani meriwayatkan hadis yang dipersengketakan. Artinya, pada setiap generasi, di mana saat itu muncul kritikus-kritikus Hadis yang terkadang keras dan moderat, Nas'i mensikapinya dengan pemahaman yang objektif.

Naisaburi dalam komentarnya terhadap periwayatan al-Nasa'i mengatakan, "Syarat yang dipakai Nasa'i lebih ketat dibanding syarat yang digunakan Muslim al-Hajjaj". Dan mungkin karena faktor inilah Abu Abdillah al-Rasyid dalam muqadimah Sunan Nasa'i mengungkapkan bahwa Sunan Nasa'i merupakan kitab terbaik, sebab di dalamnya menggabungkan dua bentuk metodologi Bukhari-Muslim dan menambah banyak keterangan yang menyangkut illat (cacat rawi).

Sunan Nasa'i merupakan karya terbesar Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Nasa'i. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa penulisan tentang Sunan Nasa'i dimaksudkan sebagai persembahan karya terbesar kepada Gubernur Ramlah. Ketika kitab tersebut hendak diserahkan, Gubernur Ramlah sempat bertanya pada Nasa'i, "Apakah isi kitab itu shahih?" Nasa'i menjawab, "Ada yang shahih, ada yang hasan, dan ada pula yang mendekati keduanya". Gubernur Ramlah lalu menyuruh Nasa'i untuk menyeleksi kembali hadis-hadis yang semula bernama Sunan al-Kubra tersebut.

Namun, karena dalam kenyataannya Sunan Nasa'i masih memuat hadis-hadis majhul (tidak diketahui), majruh (cacat), dhaif, dan memuat perawi yang terkadang masuk dalam kategori al-juhalat (bodoh), ghair tsiqat (tak bisa dipercaya, al-ghulat (salah), dan semacamnya, maka banyak ulama berselisih pendapat tentang kedudukan Sunan Nasa'i dalam kategori kesahihannya. Tapi, karena Hadis-hadis yang dituduhkan itu tidak terlampau banyak dibanding Hadis-hadis yang shahih dan belum terdapat dalam literatur ulama sebelumnya, maka secara umum mayoritas ulama menilai Sunan Nasa'i sebanding dengan Sunan Abu Daud.

Sunan Ibn Majjah

Selama hidupnya, Ibn Majah meninggalkan karya tidak kurang dari 30 buah. Karya-karya itu terbagi dalam tiga kelompok besar: Tafsir, Tarikh (biografi), dan Hadis. Namun di antara ketiganya, bidang yang terakhir merupakan buah tangan yang paling masyhur dengan karya Sunannya. Dari segi materi Sunan ibn Majah terdiri dari 4.341 hadis, 3.002 di antaranya telah termaktub dalam Kutub al-Khamsah (Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i), dan hanya sekitar 1.339 hadis saja yang terbilang orisinil. Dalam penelitiannya, Fuad Abd Baqi' menjelaskan bahwa dari 1.339 Hadis yang dikatakan orisinil tersebut, 328 berkualitas shahih, 99 di antaranya hasan, 613 berkualitas dhaif; dan 99 lainnya berkualitas tertuduh (buruk).

Sementara Ibn Hajar mencatat bahwa jumlah bab dan pasal yang terkandung dalam Sunan Ibn Majjah lebih sistematis dan tersusun lebih rapi dibanddingkan dengan bab-bab yang ada dalam kitab Hadis lain. Keterangan-keterangan yang termuat dalam Sunan Ibn Majah umumnya singkat tapi jelas. Sedang sitematika pembahasannya tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab sunan pada umumnya.

Jika dibanding dengan Kutub al-Khamsah, Sunan Ibn Majah memiliki berbagai kelemahan. Pertama, memuat banyak Hadis berkatagori zawaid atas Hadis-hadis yang ada dalam Kutub al-Khamsah. Kedua, Hadis yang berkualitas dhaif tidak mendapat kejelasan sebab kedhaifannya, dan karena persoalan inilah banyak ulama hadis memandang sebelah mata terhadap Sunan Ibn Majjah. Fuad Abd Baqi' mencatat, ada sekitar 712 Hadis dhaif dalam Sunan Ibn Majah dan dibiarkan begitu saja tanpa komentar dan penilaian sedikit pun.

 
Berita Terpopuler