Dari Imam Sampurno, Entong Gendut, Wong Kere, Hingga Gafatar

Antara/Syaiful Arif
Warga melihat tabloid Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) terbitan 2014 di Jombang, Jawa Timur, Rabu (13/1).
Rep: muhammad subarkah Red: Muhammad Subarkah

Dunia memang tak seindah syair lagu "Imagine" John Lenon: tidak ada perang, pembunuhan, penyakit, politik, dan berbagai hal mencemaskan lainnya. Dunia, meski telah diserukan oleh filsuf besar M Iqbal agar bisa diubah menjadi surga yang nyata serta dirasakan oleh manusia saat dia masih punya nyawa, memang nyatanya akan selalu penuh konflik.

Dulu mitologi Yunani punya cerita Sisyphus yang melambangkan kenestapaan manusia: kisah raksasa yang pekerjaannya secara terus-menerus mengangkut batu besar ke atas puncak piramda (gunung), tapi kemudian digelindingkan kembali ke bawah. Dan, dia kemudian mengangkutnya lagi ke atas, lalu digelindingkan lagi ke bawah, jelas melambangkan kenestapaan hidup di dunia yang kadang penuh kesia-siaan absurd.

Akibat ketidakjelasan dan ancaman ketakutan itulah, muncul berbagai macam persoalan. Salah satu di antaranya adalah munculnya gerakan sempalan keagamaan sebagai ekspresi dari berbagai macam ancaman itu, mulai dari penyebaran agama, perasaan tersingkirkan dalam sosial, budaya, ekonomi, hingga tak sesuainya harapan bahwa dunia ternyata tak seideal seperti carita novel atau komik.

Pada masa 1980-an, misalnya, di berbagai kota besar sempat muncul gerakan Childern of God. Saat itu, ramai sekali orang yang membicarakannya. Apalagi, kemudian dibumbui bermacam-macam kejanggalan dari gerakan dengan jargon ingin menyebarkan cinta kasih itu, mulai dari kumpul kebo, antilembaga pernikahan, sampai soal penerapan seks bebas.


Namun, bagaimana catatan sejarah akan kisah gerakan sempalan itu? Maka, dalam tulisan ini mencoba merunut beberapa contoh gerakan sempalan mulai dari zaman pra-Perang Diponegoro (awal 1800-an) hingga masa kini. Tentu saja, dipilih yang bernilai penting, meski kadang lucu, unik, dan berakhir tragis.


Imam Sampurno berasal dari Desa Ampel di Surabaya. Ia dikenal sebagai lelaki yang sudah banyak berziarah ke berbagai tempat keramat, seperti hutan Lodoyo di Pegunungan Tengger (Jawa Timur), bermalam di area hutan Gunung Lawu (Jawa Tengah).

Pada suatu hari, seteah bersemedi di hutan Gunung Lawu, Imam Sampurno pergi ke hutan Lodoyo mengubah sebuah candi Brahma menjadi masjid. Juga, di sana ia menemukan seperangkat gamelan Jawa dan wayang. Para pengikutnya yakin, Imam Sampurno punya kekuatan hebat, seperti mampu mengubah diri dan pengikutnya menjadi macan.

Oleh warga sekitar hutan Gunung Lawu itu, gerakan Imam Sampurno diterima dengan baik. Apalagi, dia suka membagi-bagikan makanan. Mereka yang percaya, datang bertemu dengan dia untuk meminta bantuan mendapatkan kekayaan dan jabatan.

Karena terkenal mampu mengubah diri sebagai macan, warga tidak bisa sembarangan datang menemuinya. Mereka harus datang beramai-ramai bila ingin bertatap muka dengan Imam Sampurno. Tak hanya rakyat jelata yang menjadi pengikutnya, tapi pejabat penting juga mendukungnya, seperti para bupati Surakarta, anak pemimpin pesantren di sekitar Surakarta, hingga penghulu kabupaten.

Namun, gerakan ini kemudian menimbulkan masalah ketika Imam Sampurno mengklaim dirinya sebagai ‘Ratu Adil’. Pada Oktober 1819, ia mengeluarkan ramalan bahwa akan timbul wabah besar yang berasal dari sebelah barat. Bala tentara arwah Taragnyana akan datang seperti kabut dengan membawa pasukan yang membawa hewan berbisa, seperti ular, kalajengking,  serta lipan. Tentara Nyai Roro Kidul dan bala tentara Sunan Lawu nanti akan berperang menghadapinya.

Ramalan ini meluas dan membuat jengah Sunan Pakubuwono IV dan Residen Belanda di Surakarta Rijk van Perlin. Imam Sampurno ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa.

Sebagai imbas dari kebijakan politik Tanam Paksa, pada awal abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda mencapai puncak kemakmuran. Pejabatnya kaya raya. Negeri Belanda mampu membangun berbagai infrastruktur megah dan penting. Gambaran Amsterdam kumuh saat itu pun mulai menghilang karena Belanda kebanjiran devisa hasil merampok kekayaan bumi nusantara.

Namun, situai membanggakan itu tak terjadi pada penduduk bumi putera. Pemberian pendidikan kepada pribumi di era politik etis hanya balas budi lips service karena sekadar bertujuan mencetak pekerja. Pendidikan hanya diberikan kepada anak pejabat dan kerabat bangsawan. Rakyat biasa hidupnya tetap sengsara dan amburadul.

Dan, di Batavia yang saat itu dijuluki Venicia di Timur, warganya tak kebagian apa-apa. Mereka hidup tersuruk di kampung kumuh sembari terus dipaksa membayar pajak. Bila muncul perumahan mentereng, itu hanya diperuntukkan bagi ‘tuan putih’. Pribumi Betawi hanya bisa jadi kuli. Bagi perempuannya hanya bisa jadi babu atau gundik.

Nah, pada masa suram itu muncullah tokoh pemimpin rakyat asal Kampung Condet yang bernama Entong Gendut. Melalui gerakan tarikat atau zikir (sabilillah), dia menyerukan perlawanan terhadap para kompeni dan tuan-tuan tanah yang bermarkas di Kampung Gedang.

Pada masa penjajahan Belanda, rakyat Condet memang hidup dalam represi pihak tentara kompeni dan para tuan-tuan tanah yang bermarkas di Kampung Gedang. Bang Entong tak tahan ketika seluruh tanah rakyat di Condet dikuasai mereka. Selain itu, rakyat dicekik pajak (blasting) yang tinggi sebesar 25 sen per minggu. Pajak ini diberlakukan sewenang-wenang dan sangat besar karena jumlah berlipat lima dari harga beras per kilogram yang saat itu hanya mencapai empat sen. Dan bila tak bisa bayar, kebun dan sawah rakyat akan disita. Bahkan, bila sudah mendekati masa panen, rakyat yang dulu susah payah menanamnya tak boleh memetik hasilnya.

Maka, pada 5 April 1916, Entong Gendut sembari mengenakan ikat kepala putih menyerukan takbir, dia menyerbu rumah tuan tanah yang tinggal di Vila Nova di Landhuis (Jakarta Timur). Pada awal serbuan, pasukan Entong meraih kemenangan. Tapi, keadaan berubah ketika datang bantuan pasukan pemerintah kolonial. Entong kemudian tertembak mati.

Pascapemberontakan G-30-S/PKI 1965 di Desa Tugurejo, di Blitar Selatan, Jawa Timur, muncul seorang petani dengan sebutan ‘Embah Wali’ (lahir sekitar tahun 1935). Karier spiritualnya diklaim semenjak melakukan pengembaraan mengelilingi Jawa yang kemudian dilanjutkan dengan disiplin melakukan semedi atau bertapa ‘mati raga’. Pada 1940, Embah Wali dan istrinya sempat hidup nyaris telanjang.

Pada akhir revolusi, Embah Wali menyatakan agar warga desa menggelar pertunjukan wayang. Pertunjukan ini digelar hingga tahun 1954. Lakon wayang yang dibawakan selalu mengambil tema mengenai datangnya ‘Ratu Adil’, yang dia pahami sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Beberapa pekan sebelum peristiwa 30 September 1965, Embah Wali menggali sebuah lubang sampah yang sangat besar di desanya. Dan, pada malam peristiwa kudeta itu, dia meninggalkan rumah ke sebuah gubuk kecil di tengah sawah. Setelah peristiwa kudeta itu, para pengikutnya kemudian menafsirkan tingkah anehnya sebagai isyarat terjadinya pembunuhan dan pencarian perlindungan.

Setelah itu, Embah Wali sempat mengalami stroke dan lumpuh selama dua tahun. Dia baru sembuh pada 1970-an. Namun, hikmahnya karena dia sakit stroke dan lumpuh itulah, dia selamat dari tudingan pengikut komunis sebab Blitar adalah salah satu basis kekuatan komunis di Jawa. Tak lama kemudian, pada 1971, dia menjadi pengikut Golkar setelah sempat berkunjung ke Jakarta untuk bertemu Sri Sultan Hamengku Buwono yang saat itu adalah petinggi partai berlambang beringin.

Bagi pengikutnya, Embah Wali dianggap sebagai seorang nabi yang tengah berkarya mempersiapkan jalan bagi munculnya era keadilan baru dan mereka ingin menggabungkan diri di dalam karya besar ‘persiapan’ itu. Embah Wali menyampaikan ‘wejangannya’ melalui bahasa simbil, cerita wayang, tarian, dan selalu punya hubungan gaib dengan Nyai Roro Kidul (Ratu Kidul).

Uniknya, pada Oktober 1988, ketika idola Embah Wali, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat, dia menutup pintu rumahnya rapat-rapat dan tidak mau melalukan ritual apa pun untuk memperingati wafatnya Sultan. Dia kemudian mengumumkan bahwa ‘Ratu Adil’ kini telah pergi. Dan, berselang dua tahun kemudian, pada Mei 1990, Embah Wali sendiri pun mangkat.

 

Untuk beberapa waktu, ritual dan tarian-tariannya memang sempat berlanjut. Namun, lama-kelamaan tindakan itu pun menghilang seiring berkurangnya pengikut.

Sekitar tahun 2000-an, di Klaten, Jawa Tengah, muncul kelompok yang menyebutnya sebagai kelompok "Wong Kere"  (orang miskin). Untuk menyimbolkan penolakan mereka terhadap hal-hal yang umum, Wong Kere melakukan banyak hal secara berkebalikan. Misalnya, berjabat tangan memakai tangan kiri, mendaulat pemimpin yang berasal dari buruh tani biasa, memakai jam tangan yang jarum jamnya bergerak berkebalikan dengan gerak jarum jam pada umumnya.

Pengikut Wong Kere ini mengakui dan menghormati Tuhan serta keberadaan makhluk gaib lainnya, tetapi menolak berbagai praktik Islam. Tiap hari mereka melakukan doa kepada Tuhan, kemudian kepada bumi (sebab bumilah yang memberikan kehidupan), dan memberikan penghormatan kepada empat arah mata angin utama.

Mereka menganggap Pancasila sebagai pedoman spiritual serta menolak segala bentuk organisasi. Walaupun kelompok ini menyatakan tidak memiliki kitab tertulis, mereka menyimpan sebuah salinan kitab Dermagandul yang disalin dari terbitan Tan Koen Swie pada 1921.

Guru Besar Sejarah Islam Universitas Sebelas Maret (UNS) Hermanu Joebagio menegaskan bahwa munculnya berbagai gerakan sempalan keagamaan seharusnya menjadi peringatan bahwa masyarakat Indonesia tengah mengalami nestapa yang akut (masyarakat sakit). Untuk itu, pemerintah harus segera bertindak memberdayakan mereka.

‘’Pemerintah dan lembaga keagamaan yang ada saya harap jangan malah melakukan represi kepada mereka. Lebih baik berdayakan dan cari masalahnya mengapa sampai seperti itu. Gerakan sempalan itu dilakukan karena mereka sebenarnya adalah orang-orang yang butuh diperhatikan,’’ kata Joebagio.

Menurutnya, pemerintah memang seharusnya segera mengambil tindakan yang tepat dan tak boleh membiarkannya begitu saja. Sebab, bila dibiarkan, gerakan ini akan membesar dan akhirnya akan membuat masalah, baik bagi masyarakat, negara, maupun para pengikutnya.

‘’Sekali lagi fenomena ini adalah sebenarnya merupakan gerakan politik. Muncul karena terjadi ketidakmampuan ekonomi, keserakahan politk, persoalan kesenjangan sosial, dan lainnya,’’ ujarnya.

Dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa, misalnya, munculnya gerakan sempalan ini selalu terjadi ketika ada arus perubahan kekuasaan. Jadi, kepada masyarakat dan umat Islam hendaknya bisa cerdas memahami //setting// masalah yang ada di belakangnya.

 ‘’Jadi, jangan diberi stigma. Justru, mereka harus dibantu agar bisa keluar dari masalah yang sebenarnya. Pemerintahan Presiden Jokowi harus memberdayakannya,’’ ujar Hermanu menegaskan.

 

 
Berita Terpopuler