Cucu Salim Kancil Trauma

Youtube
Salim Kancil
Rep: Andi Nuroni/c14/c15 Red: Maman Sudiaman

REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG -- Kasus kematian petani penolak tambang pasir, Salim Kancil, menyisakan trauma bagi orang-orang terdekatnya. Putra Salim Kancil, Dio (13 tahun), dan cucunya yang masih berumur lima tahun, Helmi, belum bisa melupakan tindak kekerasan yang berujung kematian itu.

Helmi yang masih bersekolah di taman kanak-kanak (TK) di Desa Selok Awar Awar, Lumajang, mengungkapkan ingatannya melalui gambar. Saat diminta gurunya menggambar, ia melukiskan adegan kekerasan yang dialami kakeknya pada 26 September lalu.

Bocah itu memang sempat menyaksikan kakeknya terbaring di tanah lalu kepalanya dihantam mata cangkul. Helmi pun melihat kepala kakeknya dipukul batu ketika para preman menganiaya hingga membuat Salim Kancil kehilangan nyawa.

"Anak-anak kan disuruh gambar bebas. Gambar Helmi memang enggak jelas, corat-coret, tapi pas ditanya gurunya, 'Ini siapa?' 'Kakek.' 'Ini apa yang panjang?' 'Pacul.' 'Ini yang bulat?' 'Batu.'" ibu Helmi, Ike Nurila, menirukan dialog guru TK dengan Helmi, Kamis (8/10) lalu.

Keesokan harinya, Helmi menggambar adegan itu lagi. Lalu pada hari ketiga, Helmi menggambar ambulans. Gambar itu, ujar Ike, kemungkinan mengacu pada suasana ketika jenazah kakeknya datang diantar ambulans ke rumah.

Ike menuturkan, semula guru TK tidak tahu kalau Helmi ikut menyaksikan ketika kakeknya dianiaya para preman. Begitu tahu Helmi menyaksikan adegan kakeknya disiksa, gurunya tidak lagi meminta Helmi menggambar.

"Gurunya sampai menangis," ujar Ike kepada Republika.co.id,  di rumah almarhum Salim Kancil.




REPUBLIKA.CO.ID,LUMAJANG -- Selain Helmi, ada bocah lain seusianya, bernama Gilang, yang melihat Salim Kancil dipukul cangkul. Kebetulan, saat kejadian itu Gilang sedang bersama Helmi.

Gilang, kata Ike, juga bersekolah di TK yang sama dengan Helmi. Hal yang mengejutkan, Gilang pun menggambar adegan yang sama. "Padahal mereka duduknya berjauhan," ujar Ike.

Selain Helmi dan Gilang, anak Salim Kancil, Dio (13), juga harus berjuang melawan trauma. Sejak Senin (5/10), Dio yang duduk di kelas V SD mulai bersekolah lagi. Namun, di sekolah, perasaannya rawan terusik karena kehadiran Iva (12), anak Kepala Desa Hariyono yang kini ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan ayahnya. Iva siswi kelas VI di sekolah yang sama.

"Aku sih enggak apa-apa. Enggak boleh dendam," ujar Dio, didampingi kakaknya, Ike. Menurut Ike, Dio pernah mendapat konseling dari psikolog Polda Jawa Timur. Dio menyebut, salah satu yang dipesankan psikolog adalah sikap tidak boleh dendam.

Sesi konseling itu, menurut Ike, hanya dilakukan satu kali. Ike berharap, lebih baik kalau anak-anak terus mendapat perhatian dan bimbingan berkala dari psikolog. Penyembuhan trauma anak-anak butuh waktu serta kerja sama semua pihak. Namun, menurut cerita Dio, beberapa kali dia dipanggil ke kantor. Di sana, guru-gurunya bergiliran satu per satu meminta Dio menceritakan drama penyiksaan terhadap ayahnya, seperti yang pernah ia saksikan saat hari kejadian.

Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menilai trauma yang dialami Dio pasti terjadi pada setiap orang yang melihat langsung penyiksaan. "Apalagi yang ia lihat merupakan sosok terdekat dalam hidupnya," katanya, Ahad (11/10).

Menurut Reza, trauma Dio tak akan pernah hilang. Peristiwa kematian Salim Kancil bakal selalu melekat pada benaknya. Namun, pemulihan bisa dicoba melalui sejumlah cara. Solusi terkini, menurut dia, jauhkan Dio dari hal yang membuatnya kian takut dan teringat peristiwa itu.

Meski polisi berkewajiban menyelesaikan penyelidikan, Reza mengingatkan, dengan melibatkan Dio dalam reka ulang atau mengorek keterangan darinya, bisa menambah trauma. Karena itu, ia meminta aparat penegak hukum berlaku hati-hati.

REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG -- Kepala Divisi Sosial Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda, mengakui, kejadian nahas yang menimpa Salim Kancil terjadi di depan anak-anak almarhum sendiri. Tidak sedikit pula anak-anak lainnya yang ikut menyaksikan.

Terkait penanganan trauma, KPAI telah berkoordinasi dengan Pemkab Lumajang dan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Tindakan utamanya ialah melakukan pendampingan sekaligus rehabilitasi.

Menurut Erlinda, pendampingan bertujuan agar anak-anak pulih dari kesedihannya. Tindakan lain yang tak kalah penting adalah menghindarkan rasa dendam. "Terutama saat anak korban berkomunikasi dengan anak tersangka," katanya, kemarin.

Mereka perlu mendapat terapi perilaku sehingga dikondisikan tak menaruh sikap dendam sedikit pun. Sebaliknya, jelas Erlinda, yang muncul adalah pemahaman bahwa kejadian nahas ini merupakan duka bersama.

KPAI juga berkoordinasi dengan guru-guru tempat mereka belajar. Erlinda mengungkapkan, anak-anak Salim Kancil dan anak korban penganiayaan lainnya, Tosan, serta anak pelaku hingga kini dibolehkan tidak masuk sekolah.

Kegiatan belajar mereka baru akan dimulai ketika hasil assessment dari petugas trauma healing sudah ada. "Kalau tanpa hasil itu, kita tidak bisa, karena kan mereka juga punya trauma yang berbeda-beda," kata Erlinda.


 
Berita Terpopuler