Senin 21 May 2018 20:21 WIB

Dan Hamka pun Mundur Jadi PNS

Dipaksa mengambil pilihan, Buya Hamka memilih berjuang bersama umat.

Buya Hamka dan istrinya Siti Raham
Foto: Repro buku Kenang-Kenangan Hidup Jlid III
Buya Hamka dan istrinya Siti Raham

Oleh: Yusuf Maulana, Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku"

Tersebutlah nama Abdullah bin Ubay di balik hasutan kepada warga Muslim Madinah agar tidak membantu saudara mereka yang berhijrah. Abdullah bin Ubay, yang lisannya mengaku Muslim, meminta kalangan Anshar untuk menghentikan bantuan kepada Muhajirin dari Mekah. Terekam  ucapan hasutan itu dalam Alquran, Merekalah yang berkata: “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada mereka yang di sisi Rasulullah itu, sehingga bercerai-berailah mereka.”  

Ketika menjelaskan akhir ayat ke-7 surat al-Munaafiquun tersebut, Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (2008: 215) mengemukakan, “Beginilah kasar jiwa orang munafik dan orang kafir. Mereka sangka orang yang memperjuangkan agama dengan keyakinan amat bergantung kepada bantuan mereka. Kalau bantuan distop, tentu pejuang-pejuang itu akan kelaparan. Kalau sudah lapar niscaya mereka tidak dapat bergerak lagi, bahkan akan kocar-kacir, cerai-berai.” 

Rupanya strategi serupa, menurut Buya Hamka, berlaku pula di negeri-negeri Islam yang pemerintahannya tidak lagi berpikir menurut garis Islam, tidaklah diberi kesempatan Islam berbangkit kecuali kalau pihak penguasa memandang ada keuntungan yang diharapkan dari mereka.

Masih pada tafsir ayat yang sama, Buya Hamka mengungkap kisah “teman sangat karib saya ketika zaman perjuangan dahulu.” Sang teman Buya Hamka ini harus memilih di antara putusan untuk terus menjadi pegawai negeri ataukah berfokus sebagai dai. Semula, aktivitas fi Sabilillah bisa berlangsung seiring jabatannya menjadi pegawai negeri.

Toh menjadi pegawai negeri awalnya juga diniati untuk membantu negara. Hanya saja, pemerintah memaksanya untuk memilih lantaran tumbuh kecurigaan pada teman Buya Hamka. Ia dipaksa memilih apakah tetap jadi pegawai negeri tapi berhenti berjuang di jalan Allah, ataukah terus berjuang di jalan Allah namun tak lagi jadi pegawai negeri.

Istri sang teman Buya Hamka pun diajak bermusyawarah. Menentukan pilihan yang akan ditetapkan agar tidak ada rasa sesal di kemudian hari.

“Kita bukan keturunan pegawai negeri! Kalau disuruh memilih, pilihlah perjuangan bersama umat!” Begitu sang istri tandas meyakinkan.

“Bagaimana jaminan hidup kita?” Sang suami bertanya.

“Apakah Kakanda sekarang sudah berubah? Sudah terlalu enak jadi pegawai? Bukankah selama ini Kakanda memfatwakan di mana-mana bahwa kalau kita berjuang karena Allah, pastilah Allah akan menjamin hidup kita? Apakah Kakanda tidak yakin lagi akan apa yang Kakanda ucapkan kepada orang lain itu?”

Jawaban berbentuk pertanyaan bertubi-tubi dari sang istri itu begitu membekas di hati sang suami.

Walau menyebut lelaki dalam kisah nyata itu “teman sangat karib”, sebenarnya sosok yang dimaksud tak lain Buya Hamka sendiri. Dan sang istri yang memberikan jawaban membulatkan hati itu tentunya Siti Raham, istri Buya Hamka. Tak sulit menyimpulkan lantaran pada akhir penjelasan tafsir ayat ke-7 surat al-Munaafiquun, disebutkan bahwa sosok sang teman difitnah penguasa hingga berujung penjara selama 28 bulan atau 2 tahun 4 bulan, dan semasa di penjara banyak melakukan aktivitas peribadatan, di antaranya menyelami kandungan Alquran.   

Putra Buya Hamka sendiri, Rusydi, pernah menuliskan kisah di atas dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka (1981: 23-24). Kejadiannya sekitar 1959, yakni ketika rezim Sukarno mengeluarkan peraturan pemerintah yang melarang pegawai negeri aktif sebagai anggota partai politik. Sebagai pegawai tinggi Kementerian Agama golongan F, Buya Hamka akhirnya memilih mengundurkan diri. Ia memilih berkhidmat kepada umat melalui perjuangan bersama Partai Masyumi. Jabatan pegawai negeri yang diemban Buya Hamka sejak 1950 pun ditanggalkan, sesuai pandangan sang istri.

“Demi Tuhan, saya tak melihat tanda-tanda kecemasan sedikit pun pada wajah Ummi yang pasti akan kehilangan sekian ribu rupiah gaji, serta beras beberapa liter uang selama beberapa tahun kami tunggu setiap bulan,” jelas Rusydi Hamka.

Rusydi ingat betul apa yang diutarakan Siti Raham, ibundanya, “Kita kan tak pernah menjadi orang kaya dengan kedudukan Ayah sebagai pegawai itu. Jadi Hamka sajalah!”

“Malam harinya,” kenang Rusyid lagi, “Ummi perlu mengadakan briefing bahwa keadaan ayah hari-hari yang akan datang tidak begitu cerah, jangan minta yang tidak-tidak.” Anak-anak Buya Hamka yang sudah dewasa didorong sang ibunda untuk memikirkan mencari pekerjaan.

Beberapa bulan sejak pengunduran diri tersebut, Buya Hamka pernah menyebutkan ada seorang teman yang bertanya, “Mengapa berhenti jadi pegawai? Dari mana akan dapat ganti jaminan yang diterima tiap-tiap (tanggal) 28 hari bulan?”

“Sejak saya berhenti jadi pegawai, alhamdulillah, hampir setiap hari menjadi (tanggal) 28 hari bulan!” timpal Buya Hamka. 

Rusydi membenarkan bahwa setelah ayahnya berhenti sebagai pegawai negeri, kehidupan di rumah mereka tidak ada perubahan. Yang berubah adalah sang ayah, Buya Hamka, kian giat ke mana-mana berdakwah, selain tentunya aktif menulis di media massa.

Bulat keyakinan Buya Hamka pada ketetapan Allah soal rezeki. Tak ada kebimbangan, dengan dukungan sang istri, pada aturan pemerintah yang potensial menghentikan rezekinya sebagai pegawai negeri. Meski kekritisannya di parlemen hendak dibatasi dengan opsi memilih jadi pegawai ataukah tetap berpartai, putusan bulat berjuang di jalan Allah mantap ditempuh. “Dan bagi Allahlah perbendaharaan-perbendaharaan di semua langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik tidaklah mengerti,” ujung ayat ke-7 surat al-Munaafiquun seperti peneguh Buya Hamka.

Sungguh peran orang terdekat dalam langkah juang para alim amatlah penting, tatkala mereka ada jeda sebagai manusiawi untuk gamang. Gamang bukan karena tak percaya ayat-ayat Ilahi, melainkan masih memikirkan pertimbangan orang-orang tersayang di sekitarnya. Ketika ia disorot, dibenci, dan dipersekusi. Ketika ia dimatikan kesempatan mendapatkan rezeki (sebagaimana Buya Hamka kelak dalam pelarangan penerbitan karya-karyanya).

Atau ketika ia dipilah oleh penguasa sebagai kalangan dengan label menyeramkan dan menakutkan jamaah. Termasuk ketika tidak dipandang sebagai alim yang pantas diundang sesuai rekomendasi departemen terkait di pemerintahan. Dibantu orang-orang yang menyayangi, semua ini dihadapi dengan ringan tanpa pikiran kalut. n 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement