Kamis 22 Jun 2017 03:11 WIB
HUT Jakarta Ke-490

Bahasa Asli Jakarta Rawan Binasa

Pemain lenong berlakon pada acara Kota Cerdas dalam Kreasi Seni Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Ahad (8/5).(Republika/Rakhmawaty La'lang )
Foto:
Nyak Menah, sesepuh Condet. Perempuan 82 tahun ini menjadi salah satu penutur bahasa Betawi di wilayah Condet yang masih tersisa.

Perjalanan saya menjelajah perkampungan Betawi terasa kurang lengkap jika tidak mengunjungi Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang dinobatkan sebagai Perkampungan Budaya Betawi (PBB) sejak kepemimpinan Sutiyoso. Di sana saya menemui ahli bahasa Betawi Syaiful Amri, SAp, MM. Saat ditemui di Zona Embrio PBB Setu Babakan, Syaiful menjelaskan seluk beluk bahasa Betawi saat ini dan tempo dulu. Syaiful mengaku tidak setuju dengan pernyataan bahwa bahasa Betawi saat ini terancam tergerus canggihnya zaman.

Sebaliknya dia menganggap, bahasa Betawi saat ini lebih akrab dengan warga Jakarta, baik yang Betawi asli maupun pendatang. Bahasa Betawi yang hakikatnya tidak berjauhan dengan bahasa Indonesia, membuat warga pendatang mudah mempelajari bahkan mengaplikasikan bahasa Betawi sebagai bahasa sehari-hari meskipun tidak sepenuhnya.

Bahasa Betawi, kata Syaiful dibedakan menjadi dua, yaitu bahasa Betawi tengah dan Betawi pinggiran. Betawi tengah, kata dia kebanyakan berada di daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Barat, dan Jakarta Timur. Ciri khas Betawi Tengah dilihat dari lebih banyaknya kosa kata dan logat yang dipengaruhi oleh bahasa melayu tinggi dan bahasa arab, seperti kata 'ane ente'. Sedangkan Betawi Pinggiran lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa Cina, seperti kata 'lu gua'.

“Betawi tengah itu lebih identik menggunakan `e dan e. Kalo pinggiran itu pake 'a'. Betawi tengah itu contohnya Betawi Kemayoran, tenabang (Tanah Abang), Kampung Melayu. Kalo betawi pinggir itu kayak Bekasi, Depok, sama Tangerang,” jelas Syaiful. Sedangkan Bahasa Betawi Setu Babakan lebih condong ke Betawi pinggiran yang menggunakan akhiran 'a', misalnya 'Ngapa Tong' bukan 'Ngape Tong'.

Berubahnya bahasa Betawi dulu dan sekarang disebabkan banyak hal, salah satunya pergaulan sehari-hari. Banyaknya pendatang yang 'asal' memakai bahasa Betawi sebagai bahasa sehari-hari, membuat kekeliruan dalam berbahasa Betawi, bahkan menciptakan bahasa sendiri tanpa mengerti maknanya. Saiful mengatakan, kekeliruan pendatang yang menganggap bahasa Betawi hanya berdasar pada akhiran 'e' di setiap ujung kata, membuat makna dari kata tersebut berbeda, atau tidak memiliki makna sama sekali.

Nah ada orang yang lagu-laguan ngomong Betawi terus pahamnye kalo ngomong Betawi yang penting ujungnye 'e'. Ntu yang salah,” kata dia.

Betawi tempo dulu, kata dia terbiasa dengan lingkungan yang selalu menggunakan bahasa Betawi sebagai bahasa sehari-hari. Namun sekarang, karena banyaknya pendatang dan 'asal' menggunakan bahasa Betawi, membuat Betawi kini memiliki jiwa yang berbeda dengan Betawi dulu. Bukan hanya pergaulan, tontonan televisi juga dapat mempengaruhi perubahan makna bahasa Betawi.

Kayak sinetron Betawi, tapi enggak bisa ngomong Betawi yang bener jadi dilihatnya camplang gitu, kagak resep," kata dia.

“Contohnya ngomong sekolah. Sekola ya tetep sekola jangan pake sekole. Meja juga jangan dikata meje, kan kaga enak didenger. Lu sekola di mane? Lu jangan duduk di meja! Bukannya lu sekole di mane? Lu jangan duduk di meje! Salah itu,” tutup dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement