Rabu 05 Apr 2017 05:04 WIB

Menelusuri Jejak Mobil-Mobil Warisan Presiden Sukarno

Mobil Buick-8 milik Presiden Sukarno
Foto:
Salah satu mobil Sukarno, Imperial Crown

Saya lalu mengikat janji untuk bertemu dengan mantan ketua PPMKI se-DKI Jakarta, Hauwke. Disuguhi segelas kopi susu hangat di halaman belakang rumahnya, Hauwke dengan senyum ramahnya pun membuka percakapan bagaimana ia bisa menyimpan dan merawat mobil milik Bung Karno. Saya menyimak sembari sesekali mencatat.

Hauwke mengaku tidak ingin disebut sebagai seorang kolektor. Ia ingin disebut sebagai seorang restorer, yaitu membeli mobil dengan kondisi jelek, untuk kemudian diperbarui kembali.

“Sebab kalau kolektor itu kan membeli, dikumpulin, yang udah jadi, tinggal pakai, kalau bosan jual. Kalau saya enggak, saya betulin supaya bisa sharing ke orang-orang seperti lewat pameran atau karnaval,” kata pria yang saat ini sedang menyelesaikan touring dari Indonesia ke Eropa menggunakan mobil.

Kegemaran Hauwke terhadap dunia mobil klasik berawal ketika ia masih sekolah di Australia pada 1979. Baru pada 1980, ia kembali ke Indonesia dan melihat mobil-mobil oplet yang beroperasi ke beberapa daerah di Jakarta dan sekitarnya.

“Dari situ saya berpikir, kenapa saya gak hunting, mumpung ini kan belum banyak orang yang hobi. Nah disitu awal mulanya,” kenang Hauwke. Hingga 1990-an, koleksi mobilnya sudah mencapai 50 lebih.

Keikutsertaannya bergabung ke dalam PPMKI berawal pada 1980. Ketika itu PPMKI dibentuk oleh Solihin GP pada 1979. Hauwke juga pernah menjadi ketua PPMKI untuk wilayah DKI Jakarta selama sembilan tahun, dari 1986 hingga 1995. 

Hauwke menganggap perlu adanya klub yang solid untuk menaungi orang-orang dengan hobi yang sama, dan supaya mobil-mobilnya bisa dinikmati tidak hanya oleh dirinya sendiri, melainkan juga dinikmati orang lain dan untuk menginspirasi banyak orang.

Empat dari sekian banyak koleksi mobil milik Hauwke adalah mobil kepresiden Sukarno yang terparkir di galerinya. Mulanya berawal pada 1987 saat itu Hauwke menjabat sebagai Ketua se-DKI, sedangkan Solihin GP sebagai Sekdalobang. PPMKI mendapat kabar ada inventaris negara berupa mobil kepresidenan yang akan dilelang karena tidak dipakai negara.

“Pak Solihin kemudian manggil kita, PPMKI dan para pengurus. Harus diselamatkan karena ini aset negara yang mengandung historikal tinggi. Akhirnya saya tim dikasih waktu seminggu untuk mencari dana,” jelasnya.

Pada akhirnya PPMKI mendapat mobil tersebut melalui hibah. “Kalau gak salah satu mobil itu 750 ribu (rupiah), paling mahal pelepasan sih 1,5 juta (rupiah). Ada kuitansinya kok, jadi boleh dibilang gak bayar lah, karena kita pure dari PPMKI, bukan makelar make a tender, enggak. Karena kebetulan Pak Solihin GP di Sekdalobang, dia yang mengontrol, waktu itu Pak Moerdiono (mantan menteri sekertaris negara di zaman Soeharto) menterinya. Semua suratnya juga lengkap,” tutur Hauwke.

PPMKI kemudian mengambil mobil-mobil tersebut di Lawanggintung, Bogor, gudang mobil-mobil aset negara yang tidak terpakai. Hauwke menjelaskan kondisi mobil-mobil tersebut ketika ditemukan sangat memprihatinkan. Bahkan saking sulitnya mengevakuasi, ia membutuhkan waktu 24 jam.

“Saya melihatnya mengenaskan sekali. Mobil kepresidenan sudah dibuang-buang gitu padahal mobil-mobil itu berjasa,” ungkap Hauwke dengan penuh semangat.

Lebih parah lagi, kondisi mobil tersebut ketika itu sudah berantakan dan tidak laik jalan. “Mobil tersebut sebenarnya kilometernya masih di bawah 10 ribu, karena kan cuma dipakai antar jemput tamu ke bandara, namun semua elektroniknya dicolongin seperti jam, radio,” katanya.

Kemudian mobil-mobil yang ditemukan tersebut dibagi-bagi kepada anggota sesama PPMKI, dan terkadang Hauwke mengimbau kepada mereka untuk mengeluarkan mobil tersebut untuk beberapa acara seremonial. "Seperti ketika pelantikan Presiden keenam Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono, acara di Solo ketika Wali Kota pada saat itu masih Joko Widodo, dan lain-lain," ucap dia.

Mobil eks kepresidenan yang ada di Hauwke sendiri berjumlah empat mobil. Pertama, mobil Chrysler Windsor 1947, mobil tersebut pernah dipakai Jenderal Besar Soedirman waktu ibu kota Indonesia masih di Yogyakarta, dan kemudian dihibahkan kepada Sukarno. Mobil tersebut juga pernah dipakai ketika Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung.

Mobil kedua, Chrysler Imperial 1959. Mobil tersebut dipakai untuk memeriksa barisan waktu 17 Agustus. "Ada kisah menarik pada mobil, konon mobil tersebut pernah dengan sengaja mesinnya dimatikan dan kemudian rakyat mendorong mobil tersebut dari Kemayoran ke Istana," kata Hauwke.

Ketiga, Cadillac 1950. Mobil tersebut pernah dipakai Bung Karno bersama Ayub Khan, Presiden Pakistan. Keaslian mobil tersebut tampak terjaga, hal itu terlihat dari cat mobil yang terkelupas.

“Saya ingin mobilnya Sukarno apa adanya begitu, seperti aslinya,” ujar pria yang mengaku pernah membawa mobil Sukarno ke Blitar untuk berziarah ke makam Bung Karno.

Keempat, Zill 111 buatan 1961. Salah satu mobil produksi Rusia ini merupakan pemberian Nikita Kruschev, perdana menteri Rusia pada 1958-1964.

Awalnya Hauwke hanya memilik dua mobil Sukarno. Namun karena ada salah satu kawannya yang juga menyimpan mobil eks Sukarno, meninggal dunia, maka mobil tersebut ia beli karena keluarganya tidak bisa merawat.

Hauwke sangat berterima kasih kepada PPMKI yang telah menyelamatkan mobil-mobil yang menyimpan banyak sejarah. “Terus terang saya berterima kasih sekali, saya mengapresiasi sekali Pak Solihin GP bisa memberi inisiatif, untuk memberi kesempatan kepada klub PPMKI ini untuk menyelamatkan mobil-mobil tersebut, kalau tidak wah itu sudah sampai ke luar negeri kita sudah gak punya apa-apa,” ujarnya.

Hauwke juga berpesan seharusnya orang-orang indonesia harus lebih mengapresiasi barang-barang kuno yang dimiliki oleh bangsa ini. “Orang-orang yang mengapresiasi barang kita ini kebanyakan asing, orang asing datang ke sini enggak ngerti Indonesia tiba-tiba beli barang-barang kuno Indonesia. Dibawain ke sana, itu saya terus terang sedih gitu lho,” ungkapnya.

Karena keprihatinan itulah ia kerap mengajak teman-teman dan anak-anak datang ke galerinya yang berlokasi di Cipete, Jakarta Selatan. “Saya bukan show off, saya membawa teman-teman, anak-anak datang kemari, supaya belajar. Kalau bisa becak kumpulin yang tua-tua, hilang kayak apa sekarang. Andong yang tua-tua kumpulin dah. Kalau punya uang, jangan cuma beli Rolex, belilah barang-barang yang berguna untuk anak cucu kita. Gitu lho,” kata Hauwke berpesan.

Kopi susu di atas meja kaca yang disuguhi Hauwke tidak terasa sudah hampir habis setengahnya dan tak lagi hangat. Saya pun menyudahi wawancara dengan Hauwke dan berpamitan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement