Ahad 11 Mar 2018 15:51 WIB
Supersemar

Benarkah Soeharto Menyelewengkan Supersemar?

Presiden Sukarno menilai Soeharto ngawur dalam menerjemahkan Supersemar

Soekarno dan Soeharto
Foto: Arsip Nasional RI
Soekarno dan Soeharto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting, Wartawan Republika

Pagi hari, 12 Maret 1966, dari Istana Bogor, Presiden Soekarno naik helikopter menuju Istana Negara di Jakarta. Ia akan membuka rapat pimpinan ABRI di Istana Negara. Rapat itu dihadiri lengkap oleh semua unsur petinggi TNI dan Polri, kecuali Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. 

Suasana hari itu sangat berbeda dengan sehari sebelumnya ketika Bung Karno terpaksa harus lari dari sidang kabinet menyelamatkan diri ke Istana Bogor. Saat itu, istana dikepung pasukan bersenjata, namun tanpa identitas kesatuannya. 

Pada rapat pimpinan ABRI itu, Bung Karno akan membacakan surat perintah yang malamnya sudah dia berikan kepada Letjen Soeharto. Surat perintah itu tertanggal 11 Maret 1966. Belakangan disebut sebagai Supersemar. 

Presiden Sukarno merasa heran karena orang yang dia berikan perintah, yakni Letjen Soeharto, malah tidak hadir. Padahal, panglima angkatan laut, angkatan udara, dan kepolisian hadir semua. 

Soekarno pun mencari tahu mengapa dalam keadaan sangat penting, Letjen Soeharto selalu tidak hadir. Pertama, sidang kabinet, 11 Maret 1966, saat istana dikepung pasukan liar yang diduga dari angkatan darat. Di situ, Letjen Soeharto tidak hadir. Kedua, saat Rapim ABRI 12 Maret itu, lagi-lagi Soeharto pun tidak hadir. Ada sesuatu yang janggal, panglima angkatan darat tidak hadir dalam Rapim ABRI. 

photo
Mayjen TNI Soeharto.

Bung Karno semakin terkejut ketika diberitahu bahwa Men/Pangad Letjen Soeharto telah membuat Surat Keputusan (SK) Presiden/PANGTI ABRI/Mandataris MPRS/ PBR No 1/3/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Bung Karno marah.

Ia menilai, tindakan Soeharto ngawur dan bertentangan dengan isi serta jiwa Supersemar. Maka, Bung Karno memerintahkan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II J Leimena untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto sebagai pemegang Supersemar. 

Trio jenderal, yakni Brigjen M Jusuf, Mayjen Basoeki Rahmat, Brigjen Amir Machmud, dipanggil ke Istana Bogor. Di sana, Presiden menumpahkan amarahnya.

“Kamu nyeleweng! Kamu bikin laporan salah kepada Soeharto!” Kesaksian itu dikemukakan M Hanafi, mantan dubes di Kuba, dalam buku biografinya. Ia mengaku, berada di Istana Bogor saat peristiwa itu terjadi. 

Menurut Soekarno, sebagaimana dikatakan oleh Amirmachmud, pembubaran partai adalah wewenang presiden. Tapi, menurut Amirmachmud, apa yang dilakukan Letjen Soeharto sudah sesuai dengan Surat Perintah 11 Maret, yaitu demi keselamatan bangsa dan negara, serta demi keselamatan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement