Ahad 11 Mar 2018 15:11 WIB
Supersemar

Supersemar, Secarik Kertas yang Mengubah Peta Politik Dunia

Usai Supersemar terbuit, kekuasaan Sukarno melemah sementara Soeharto semakin menguat

Soekarno dan Soeharto
Foto:
Soeharto ketika menerima mandat presiden dari Soekarno

Pada akhirnya peristiwa 30 September 1965 membuat posisi PKI dan Sukarno yang awalnya superior jadi tersudut. Gerakan perlawanan terhadap komunis merebak seantero Nusantara.

Efeknya, Sukarno kehilangam kontrol atas kondisi negara yang semakin tak stabil. Kondisi ini yang menjadi dasar terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966.

Terlepas dari kontroversi Supersemar yang disebut sebagai kudeta merangkak pada Sukarno, nyatanya posisi politik blok Amerika diuntungkan dengan tampilnya Soeharto. Sebaliknya, Supersemar membawa efek langsung bagi posisi blok komunis, yakni Cina dan Soviet.

Sebab, langkah pertama Soeharto usai mengantongi Supersemar adalah menghabisi komunis di Indonesia. PKI dibubarkan. Kekuatan dan pejabat negara yang mengarah ke komunis dijebloskan ke dalam penjara.

Soeharto yang kemudian ditetapkan pada 12 Maret 1967 oleh MPRS, atau setahun setelah Supersemar pun sontak mendapat bantuan Amerika ketika pertama kali baru menjabat. Kebijakan pertama Soeharto setelah menjabat sebagai presiden adalah menerbitkan Undang-Undang Modal Asing (UU Nomor 1 Tahun 1967).

photo
Seroang pelukis melukis wajah Presiden RI ke-2 Soeharto.

Ini dengan membuka keran investasi guna menyelamatkan keuangan negara yang saat itu sekarat. Sebab, di akhir era Orde Lama, inflasi di Indonesia telah mencapai angka 650 persen.

Dan negara pertama yang menyambut kebijakan ekonomi Soeharto itu adalah Amerika. Ini ditandai dengan masuknya modal Amerika ke Indonesia. Masuknya modal Amerika ini juga ditandai masuknya perusahaan Freeport pada 7 April 1967. Ini ditandai dengan dengan penandatanganan kontrak karya pertama dengan jangka waktu operasi 30 tahun.

Walhasil, Amerika mendapat manfaat langsung secara politik dan ekonomi paska-tampilnya Soeharto. Di sisi lain, kekuatan pro Amerika dan sekutu di Asia Tenggara yang selama ini dimusuhi rezim Sukarno, seperti Malaysia, juga dirangkul Soeharto.

Walhasil kekuatan politik Amerika pun mendapat suntikan penting secara politik dan ekonomi di Asia Tenggara. Sekalipun Amerika urung menaklukkan Vietnam, namun Indonesia wilayah paling besar malah berhasil menaklukkam komunis.

Indonesia di era Soeharto malah menjadi kekuatan antikomunis yang bersinergi dengan Amerika dan sekutunya. Hal yang tak hanya menghentikan jatuhnya domino komunis, melainkan memperkukuh kuku Amerika di Asia.

Kekuatan antikomunis makin besar pada 8 Agustus 1967. Ini setelah sejumlah negara Asia Tenggara (yang antikomunis), termasuk Indonesia, sepakat membentuk aliansi, yakni Association of Souteast Asian Nations (ASEAN).

Sebaliknya, Cina makin teralienasi paska-Soeharto mengantongi Supersemar. Sebab, seketika itu pula hubungan diplomatik dibekukan. Puncaknya, setelah menjabat Soeharto memutus secara kesuluruhan hubungan dengan Cina pada 1967.

Pada saat yang sama pula Soeharto malah menjalin hubungan dengan Taiwan, musuh politik Cina. Pada 1967, pemerintahan Soeharto menempatkan petugas Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) sebagai awal mula hubungan kedua negara. Walhasil, kekuatan komunis makin teralienasi di Asia Tenggara.

Perubahan peta politik di kawasan Asia Tenggara ini bermula dari surat yang diteken Sukarno pada 11 Maret 1966. Sebab surat Supersemar itu tak sekadar membuat komunis habis di Indonesia. Lebih dari itu, Supersemar memberi wewenang kepada Soeharto untuk mengubah arah politik di Asia Tenggara.

Dengan Supersemar yang kemudian berujung dengan tampilnya Soeharto sebagai presiden setahun berselang, Indonesia malah menggalang kekuatan regional ASEAN yang antikomunis.

Kemenangan komunis di Vietnam jadi tak berarti jika melihat aliansi ASEAN. Tak hanya itu, hadirnya ASEAN bersama Jepang, dan Korea Selatan sukses mengalienasi Cina di kawasan Asia. Sehingga pengaruh Cina secara ekonomi, sosial, dan politik pun meredup.

Keterpurukan Cina pun berimbas kepada sekutu utamanya Soviet. Hingga akhirnya, Soviet babak belur di sejumlah kawasan Asia pada era Perang Dingin. Ini seperti di Afganistan pada 1979-1989.

Hanya beberapa tahun setelah kekalahan di Afganistan, atau tepatnya pada 25 Desember 1991, Soviet kalah total dalam Perang Dingin. Soviet hancur setelah negara anggotanya memisahkan diri. Hancurnya Soviet juga menandakan kehancuran komunis dalam perang panjang melawan blok sekutu.

Di balik pemisahan diri sejumlah negara dari Soviet, Indonesia di bawah Soeharto menjadi salah satu pendukungnya. Ini terbukti dengan tampilnya Indonesia sebagai salah satu negara yang paling awal mengakui kehadiran pecahan Soviet, Ukraina. Indonesia di bawah pemerintahan Soeharto mengakui Ukraina sebagai negara merdeka pada 28 Desember 1991 atau tiga hari setelah Soviet runtuh.

Namun, benarkah komunis telah benar-benar kalah seiring dengan runtuhnya Soviet? Benarkah, ide negara komunis di Indonesia telah menjadi nisan seperti PKI yang dibubarkan usai terbitnya Supersemar?

Terkait hal ini, laporan analisis Kepala Layanan Luar Negeri Kedutaan Besar Amerika di Indonesia, Richard Cabot Howland, pada 1970 justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Menurut dia, sekalipun sudah bubar, kebangkitan komunis masih menjadi hal yang niscaya di Indonesia. Sekalipun pidato "Subur, Subur, Suburlah PKI" telah berlalu pada 23 Mei 1965, semangatnya masih dirasakan di sejumlah kepala antek-anteknya.

"Dia (komunis) mungkin telah mati saat ini. Tapi retorika (23 Mei 1965) masih tetap ada, terutama di tengah mereka (ratusan ribu) orang yang hadir di sana (Stadion Gelora Bung Karno)," tulis Howland lewat laporan yang dia susun pada 1970.

Ya, kebangkitan itu bisa jadi benar atau pun sebaliknya. Namun, sebuah fakta bahwa negara yang dahulu 'kalah' dalam perebutan pengaruh pada 1965, Cina, kini telah bangkit dari tidur panjangnya. Cina kini tak lagi teralienasi melainkan bangkit sebagai raksasa ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement