Rabu 17 Jan 2018 18:16 WIB

Mengenang 20 Tahun Indonesia Berutang kepada IMF

Michel Camdessus, managing director IMF (kiri), dan Presiden Indonesia Soeharto (kanan).
Foto:

BUMN strategis dijual ke investor asing. Banyak perusahaan gulung tikar.

Pengangguran meluas. Rentetan dampak ini yang menjadi pemicu krisis sosial selanjutnya. Kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan terjadi di mana-mana.

Penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa terjadi. Eksodus warga keturunan Tionghoa keluar Indonesia merebak.

Lima bulan setelah menandatangani dokumen letter of intentIMF itu, rezim Soeharto yang berumur 32 tahun tumbang. Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie. Era pertama reformasi dimulai.

Bulan-bulan yang kelam Kapan tepatnya krisis moneter menghantam Indonesia? Yang biasa kita jadikan patokan adalah kerusuhan Mei 1998 atau saat Soeharto menandatangani LoI dengan IMF, Januari 1998. Jauh dari itu, sebetulnya.

Krisis moneter Asia pertama teridentifikasi saat spekulan mata uang menghancurkan bath Thailand terhadap dolar AS pertengahan Mei 1997. Otoritas moneter Thailand kewalahan menghadapi serangan ini sampai mereka akhirnya butuh bantuan IMF beberapa bulan kemudian.

Di Indonesia, dari catatan Republika, ada beberapa kali hantaman krisis kurs sebelum akhirnya berubah menjadi krisis ekonomi menyeluruh. Hantaman pertama dalam rekaman koran ini terjadi pada 21-22 Juli. Sebelum itu, kurs rupiah terhadap dolar AS relatif stabil di level Rp 2.400 per dolar AS.

Digoyang spekulan dalam dua hari, kurs rupiah jebol hingga mendekati Rp 2.700 per dolar AS. Otoritas moneter sempat panik, tapi berhasil menenangkan gejolak rupiah. Ini hanya berlangsung sepekan. Pada 29 Juli, Bank Indonesia mengetatkan likuiditas dengan menaikkan tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi dua digit.

Sepanjang pekan terakhir itu juga, nama pialang saham Yahudi George Soros muncul. Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad, pada 26 Juli, menegaskan Soros ada di belakang serangan spekulan terhadap mata uang Asia Tenggara. "Saya tegaskan! George Soros-lah yang saya maksud," kata Mahathir ketika itu.

Beberapa hari sebelumnya, Mahathir memang sempat menyinggung ada pemilik modal berbasis di Amerika Serikat yang menunggangi krisis kurs di ASEAN. Mahathir memang patut khawatir, karena situasi krissi yang sama ketika itu sudah berada di depan pintu Malaysia.

Dalam catatannya ketika itu, wartawan Republika Guntur Subagja menulis, ada tiga sebab mengapa rupiah bergejolak selama Juli 1997. Pertama, karena faktor spekulan yang mencari untung. Spekulan memborong dolar AS besar-besaran dan melepaskan rupiah secara bersamaan. Kedua, pada saat yang sama, tingginya utang luar negeri perusahaan swasta nasional yang sedang jatuh tempo.

Ini membuat pengusaha secara bersamaan dengan spekulan, mencari rupiah untuk melunasi utang jangka pendek ataupun jangka panjangnya. Dolar AS makin langka di pasaran. Ketiga, tulis Guntur, faktor psikologis di ASEAN yang menyebabkan negara-negara lain ikut memborong dolar AS dan ini membuat kian langkanya rupiah di pasar mata uang.

Uniknya, tulis Guntur, pada saat genting seperti itu Gubernur BI Soedradjad Djiwandono mengeluarkan pendekatan 'nasi goreng' terhadap situasi rupiah.

Maksudnya apa pendekatan ini? Masyarakat Indonesia, menurut Soedradjad, berpenghasilan rupiah. Belanjanya pun masih dalam rupiah. "Kalau hanya makan nasi goreng, tak perlu takut dan membesar-besarkan gejolak rupiah," kata Gubernur BI, percaya diri.

Namun, pendekatan 'nasi goreng' Gubernur BI ini terpatahkan pada Agustus 1997. Krisis rupiah justru makin kencang menerpa Indonesia. Krisis rupiah menyeret anjloknya indeks di Bursa Efek Jakarta. Perbankan yang ketakutan ikut mengerek bunga simpanan mereka ke tingkat yang tak terpikirkan sebelumnya.

Dua hari sebelum 17 Agustus adalah hari-hari yang melelahkan dan panjang bagi gubernur BI dan Menkeu Mar'ie Muhammad ketika itu. Rupiah melemah lagi terhadap dolar AS, sehingga memaksa BI akhirnya melepaskan batas kurs intervensi terhadap rupiah. Situasinya makin gawat. Gubernur BI menjadi foto utama harian ini dua hari berturut-turut, menggambarkan parahnya situasi saat itu.

Presiden Soeharto untuk pertama kalinya ikut berbicara soal rupiah. Pada peringatan Hari Proklamasi, Presiden mengklaim rupiah sudah mencapai keseimbangan baru.

Ucapan ini terbukti sehari sesudahnya. Pada 19 Agustus 1997, rupiah jebol ke batas psikologisnya terhadap dolar AS, mencapai Rp 3.000 per dolar AS.

Dari sini, situasi kurs rupiah kian dalam tergelincir. Krisis moneter pun terjadi. Makin tak terkendali menuju akhir tahun. Tak ada yang menyangka krisis bisa terjadi separah itu. Pelemahan rupiah tak bisa ditahan oleh pemerintah dan bank sentral. Situasi yang berlarut-larut ini memaksa Soeharto pada Januari akhirnya menerima saran sejumlah pihak untuk mengundang masuk Camdessus dan teman-temannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement