Jumat 18 Aug 2017 07:23 WIB
HUT Bung Hatta

Gelar Bapak Koperasi Buat Bung Hatta Direduksi

Bung Hatta
Bung Hatta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Idealisa Masyrafina, wartawan Republika.co.id

Guru besar Universitas Indonesia, Sri-Edi Swasono, menilai Bung Hatta tak sekadar Bapak Koperasi. Ia mengatakan, sepatutnya Bung Hatta disebut Bapak Kedaulatan Rakyat.

Sri-Edi menjelaskan, pada kongres pertama Gerakan Koperasi Indonesia atau Gerkopin (sekarang Dekopin) tahun 1947, ketua Kongres Gerkopin, Nitisoemantri, mewacanakan untuk memberikan gelar Bapak Koperasi kepada Bung Hatta. Pada kongres kedua, Bung Hatta diberikan gelar tersebut.

Nitisoemantri menilai tepat untuk memberikan gelar tersebut kepada Bung Hatta karena beliau banyak menulis mengenai ekonomi rakyat sehingga dianggap sebagai Bapak Kedaulatan Rakyat. Sedangkan, koperasi adalah ekspresi dari kedaulatan ekonomi rakyat yang berdaulat sehingga gelar yang diberikan kepada Bung Hatta yakni Bapak Koperasi.

Gelar Bapak Kedaulatan Rakyat yang disebut Nitisoemantri mengacu kepada salah satu tulisan Bung Hatta pada majalah Daulat Ra’jat, 20 September 1931, yang isinya: “...bagi kita rakyat itu yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan. Karena rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendah derajat kita. Dengan rakyat itu kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Hidup atau matinya Indonesia merdeka semuanya itu bergantung kepada semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada berarti kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insyaf akan kedaulatan dirinya....”

Ekonomi rakyat harus dibangun dengan paham koperasi sebagai payungnya. Koperasi merupakan wadah dari suatu paham ekonomi yang disebut paham kooperativisme. Kooperativisme adalah ideologi yang menegaskan pentingnya kerja sama saling mendukung demi mencapai tujuan bersama.

Dalam Islam, usaha bersama disebut "berjamaah", sedangkan azas kekeluargaan disebut ukhuwah. Kooperativisme adalah kerja sama gotong royong. “Kalau sesama keluarga kan tidak bersaing. Jadi, koperasi itu harus keukhuwahan, kerjasama. Tapi sekarang muslim malah banyak yang berkata 'bersaing', 'daya saing', lupa ngomong 'daya kerja sama',” tutur Sri-Edi.

Sri-Edi mengkritik pemerintah yang saat ini memelihara kompetitivisme. Padahal, dalam kompetisi, yang kuat pasti menggusur yang lemah, yang kuat pasti mendapatkan semuanya (the winner takes all). Akibatnya, pembangunan menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Hal inilah yang terjadi saat ini, pasar-pasar tergusur oleh pembangunan mal-mal besar yang menyasar konsumen yang bahkan rakyat kecil pun tidak bisa berbelanja di sana.

Dengan demikian, Sri-Edi menekankan, sangat jelas bahwa tidak majunya koperasi saat ini karena pemerintah lebih mendukung paham ekonomi kapitalis. Sementara, Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi disalahkan karena dinilai tidak dapat membuat koperasi maju.

“Perjuangan Hatta lebih mengenai ekonomi rakyat. Tapi karena beliau diberikan gelar Bapak Koperasi, Bung Hatta direduksi, dikecilkan oleh masyarakat umum: dia bukan negarawan, bukan diplomat, dia hanya Bapak Koperasi, tapi koperasi mati,” ucap Sri-Edi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement