Kamis 22 Jun 2017 05:07 WIB
HUT Jakarta Ke-490

Menyuntik Mati Bemo dari Jalanan Ibu Kota

 Sebuah angkutan bemo melintas di kawasan Grogol, Jakarta Barat, Senin (10/3).   (foto : Raisan Al Farisi)
Seorang warga negara asing mengendarai becak melintasi Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. (ilustrasi)

Lalu lintas di Jakarta pada 1950-an belum macet seperti sekarang. Sekarang hampir tidak ada lagi jalan raya tanpa kemacetan. Akibatnya, pengendara kendaraan bermotor harus menghadapi stres.

Sejarawan Betawi, Alwi Shahab, menjelaskan, pada 1950-an sampai 1970-an, kendaraan belum seramai sekarang. Jalan-jalan masih lengang, tidak takut ditabrak mobil yang menewaskan sembilan pejalan kaki di Tugu Tani, Prapatan, Jakarta Pusat beberapa tahun lalu.

Mobil Jepang yang kini menguasai jalanan belum nongol. Negara ini baru saja kalah perang. Pasar mobil dikuasai buatan Amerika Serikat dan Eropa, seperti Austin dan Oplet yang kemudian menjadi angkutan umum.

Mobil Jepang mulai masuk pada 1961 menjelang Asian Games IV. Dimulai dengan Mazda yang bentuknya seperti kotak sabun dan bemo roda tiga. Mobil-mobil masih belum ber-AC, seperti juga kantor-kantor ketika itu.

Kendaraan yang banyak melintas di Jakarta pada 1950-an adalah sepeda, becak, dan delman. Nama delman berasal dari nama seorang Belanda, Deelemen, yang tinggal di pinggiran kota pada akhir abad ke-19. Untuk keperluan transportasi, Tuan Deelemen mengembangkan kereta kuda beroda dua.

Ada juga sado, kendaraan roda dua berkuda yang berasal dari kata "dos a dos" atau tolak punggung karena tempat duduknya yang saling membelakangi. Kini, kendaraan berkuda ini sudah jarang ditemui ditengah keramaian kota dan terpaksa menyisih ke daerah pinggiran.

Sepeda merupakan angkutan kota yang masih dominan pada 1950-an sampai 1960-an. Sepeda mulai menghilang pada 1970-an ketika kendaraan bermotor makin merangsek. Padahal, naik sepeda dianjurkan sebagai olahraga aerobik untuk ketahanan tubuh dan jantung. Tidak heran, pada tahun-tahun tersebut penyakit jantung belum merupakan penyebab kematian nomor satu seperti sekarang.

Ketika SMP dan SMA, saya pergi ke sekolah naik sepeda. Warga keturunan Belanda ketika itu masih banyak bersepeda ke kantornya di Kalibesar, Jakarta Kota, Menteng, dan berbagai tempat lainnya.

Kalau sekarang banyak bengkel motor di jalan-jalan, dulu banyak bengkel sepeda. Di sekolah dan tempat hiburan tersedia tempat penitipan sepeda.

Tempat penjual sepeda terkenal kala itu dan hingga kini di Asem Reges, Sawah Besar, dan di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan. Ketika duduk di kelas satu SMP IV di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, saya dibelikan sepeda merek Fongers. Waktu itu, sebagian besar siswa-siswi ke sekolah menaiki sepeda. Merek sepeda terkenal adalah Raleigh yang berbunyi tak-tik ketika berjalan.

Di Senen, terdapat dealer sepeda dan sekaligus tempat assembling-nya. Konon, menurut cerita, pada 1940-an di Batavia ada jalur khusus untuk sepeda. Sekarang, Pemprov DKI juga membuat jalur khusus sepeda, di Jalan Melawai Raya, Blok M, dan Kebayoran Baru. Sayangnya, jalur itu diserobot dan dijadikan pangkalan bajaj, taksi, ojek, dan motor.

Pemilik sepeda diharuskan membayar pajak yang disebut 'pening'. Pada malam hari diharuskan memakai lampu yang disebut 'berko'. Setelah sepeda, yang juga terdapat di jalan-jalan raya adalah becak. Angkutan roda tiga ini tidak dibatasi trayeknya.

Begitu bioskop bubar, becak-becak berhamburan mengejar penumpang. Becak pernah terkenal di dunia internasional sebagai transportasi utama Kota Jakarta. Sehingga, artis film Hollywood pernah menyatakan kepada Bung Karno bahwa ia ingin ke Jakarta untuk naik becak. Meski tidak sebanyak motor sekarang ini, tapi jumlahnya seabrek-abrek, mengingat penduduk Jakarta pada 1950-an hanya sebanyak satu jutaan. Adanya becak mengakibatkan terjadinya urbanisasi dari desa-desa ke kota-kota besar, termasuk Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement