Selasa 01 Jun 2021 09:23 WIB
Haul Sukarno

Jiwa Besar Sukarno demi Pancasila

Kelahiran Pancasila tak lepas dari peran Presiden Sukarno bersama ulama

Presiden Sukarno
Foto:
Presiden pertama RI, Soekarno

Pada 1 Juni 1945 atau tiga hari setelah sidang pertama BPUPKI, Sukarno pun berpidato. Pidato yang telah disiapkan 16 tahun. Dari kegelapan di Banceuy, Bandung, Jawa Barat, sampai di Pulau Bunga yang sepi. Sukarno menyebut saat sedang menghabiskan waktu berjam-jam di bawah pohon kayu, datanglah ilham dari Tuhan mengenai lima dasar falfasah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila.

"Aku tidak mengatakan bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah," ujar Putra Sang Fajar.

Dalam pidato di antara dua tiang yang tinggi bekas gedung Dewan Rakyat, Sukarno mengatakan bahwa negara Indonesia yang akan dibentuk nanti didasarkan pada lima asas, yaitu kebangsaan, internasionalisme (peri kemanusiaan), demokrasi (dalam arti mufakat), keadilan sosial, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Khusus untuk mutiara kelima, Sukarno menjelaskan, penyusunan Indonesia merdeka sudah seyogianya dilakukan dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, menurut dia, bukan bangsa Indonesia saja yang bertuhan, melainkan masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri.

"Hendaknya tiap-tiap orang menyembah Tuhannya secara leluasa. Marilah kita amalkan, jalankan agama dengan cara berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan hormat-menghormati satu sama lain," kata Sukarno.

Lantaran senang dengan simbol, dia pun mengambil perbandingan. "Rukun Islam ada lima. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindra. Pandawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip di atas dasar mana kita mendirikan Negara kita, lima pula bilangannya," ujarnya. Tawaran Sukarno dalam pidato berjam-jam itu pun disambut meriah dan diterima sebagai falsafah negara secara aklamasi.

Bernhard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan menilai pidato Sukarno tidak menyiratkan tentangan terhadap dominasi Jepang. Sebab, jika Sukarno dan orang-orang Indonesia lainnya mengemukakan gagasan mereka secara terang-terangan di dalam BPUPKI, itu bukanlah pengkhianatan kepada negara, melainkan sesuai dengan keinginan dan maksud yang jelas dari orang-orang Jepang.

Dengan demikian, panitia akan terlibat dalam perdebatan yang sengit sehingga akan mengulur-ulur waktu. "Tetapi berkat peran yang dimainkan oleh Sukarno dalam sidang-sidang BPUPKI mengatasi itu semua. Harapan Jepang pun tidak kesampaian," tulis Bernhard.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement