Ahad 08 Apr 2018 09:09 WIB

Jakarta Kota Maksiat? Masih Banyak Taman-Taman Surga

Sejumlah majelis taklim yang rutin didatang ribuan jamaah tetap lestari di Jakarta.

Ratusan jamaah menghadiri pengajian
Foto:
Habib Alwi Assegaf memimpin jamaah mengikuti majelis taklim dan dzikir bersama Zaadul Muslim di kawasan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Ahad (1/10).

Habib Ali yang dilahirkan di Betawi pada 1286 H (1868 M), wafat pada 1968 dalam usia 102 tahun. Di dalam majelis-majelis taklim para ulama Betawi lebih giat untuk mengajak umatnya menjaga akhlakul karimah.

Seperti yang juga dilakukan Ustaz Arifin Ilham yang kelahiran Banjarmasin, hampir tidak ada di antara mereka yang mau membesar-besarkan perbedaan, apalagi kalau perbedaan ini hanya masalah khilafiah. Ada hal menarik yang dikemukakan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam bukunya Betawi Dalam Perspektif Kontemporer.

Disebutkan, Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda, berupa zikir, ratib, pembacaan Manakib Syekh Saman, Maulid Berjanji, dan Diba. Semuanya merupakan ekspresi pengagungan pada Asma Allah, sekalipun pernyataan diri: Isyhadu bi ana Muslimin (saksikanlah bahwa kami orang-orang Islam). Ini suatu ekspresi teologis yang nyaris sepi dari politik, tetapi nyatanya orang Belanda dibuat tidak berkutik, tulis Ridwan.

Semangat keberagamaan inilah, tulis Hamka dalam suatu seminar Mei 1987, yang membuat orang Betawi sekalipun dijajah selama 350 tahun, antara penjajah dan terjajah seperti minyak dan air yang tidak bisa bercampur. Hamka yang pernah menjadi ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama dan pernah tinggal di perkampungan Betawi di Sawah Besar, menulis: ”Pukulan yang diderita oleh orang Betawi dari penjajah sangatlah parahnya. Dari segi ekonomi, orang Jakarta umumnya hidup dalam kemelaratan, dalam tanah-tanah terpencil. Sekalipun rumah-rumah orang Jakarta terdiri dari dinding bambu anyaman dan atap rumbia dan tinggal di tempat yang becak, tapi bila waktu fajar tiba, mereka berbondong-bondong melaksanakan Shalat Subuh. Lalu, membaca ratib bersama: Lailaha ilallah.

photo
Buya Hamka

Sekarang pun ketika bangunan fisik tidak pernah berhenti di Jakarta sehingga menggenjot perut bumi kota ini, arus-arus majelis taklim atau taman-taman surga tetap mengalir di berbagai permukiman orang Betawi. Dari masjid dan mushala setiap waktu shalat akan terdengar suara azan yang kumandangnya terdengar ke gedung-gedung pencakar langit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement