Jumat 06 Apr 2018 16:48 WIB

Alih Rupa Kemang, Tempat Jin Buang Oplet Jadi Kawasan Elite

Pada 1970-an Kemang masih menjadi kawasan peternakan dan perkebunan.

Suasana Kemang di waktu malam.
Foto: Dok. Republika
Suasana Kemang di waktu malam.

Hajjah Nurhayah, generasi tua Betawi Kemang yang sempat saya temui pada 2003, mengatakan lebih menyukai daerahnya ketika masih ijo royo-royo, sekali pun ketika itu delman jarang masuk ke Kemang. ”Kalo dulu aye ke Pasar Minggu musti jalan kaki dulu ke Manggabesar. Dari sini baru naek delman ke Pasar Minggu,” Nurhayah mengenang.

Kemang adalah si eksklusif unik. Di sini, warga Betawi makin terpencil karena kehadiran warga asing dan orang berduit. Mereka tinggal di lorong-lorong kecil, di belakang rumah besar dan mewah.

Semakin mahal harga tanah membuat jumlah mereka kian menipis. Mereka menjual tanahnya dan pindah dari kampung kelahirannya. Sebagian besar dari mereka pindah ke Ciganjur, Jagakarsa, Srengseng Sawah, Cileduk, bahkan ada yang ke Bogor.

Sejak masyarakat asing hadir di kawasan yang luasnya 330 hektar, bermunculan pula galeri seni rupa, toko benda antik, kafe, restoran cepat hidang, restoran tradisional dan Barat. Di Kemang, kita akan mudah mendapati rumah makan yang menyajikan makanan Cina, Jepang, atau masakan Italia serta belasan rumah makan Barat lainnya.

Banyak di antara restoran ini yang kemudian berkembang menjadi pub, kafe, klab malam, panti pijat, dan berbagai hiburan lainnya. Di tempat ini para turis lokal dan mancanegara berdatangan, berpasang-pasangan, dan berkencan sampai menjelang subuh.

Hj Nurhayah, nenek belasan cucu, tidak pernah membayangkan daerah kelahirannya akan berkembang demikian rupa. ”Padahal ketika aye kecil, Kemang merupakan daerah udik, yang ketika itu disebut Betawi pinggiran,” kata Nurhayah.

”Kemang hanya dikenal sebagai penghasil buah-buahan dan peternakan sapi.”

Rachim juga belum lupa dengan kebiasaan masyarakat Kemang. Setiap pagi dan sore ratusan orang Kemang bersepeda mengantar susu yang dimasukkan ke botol-botol dan disandarkan di stang dan boncengan sepeda mereka.

Sekarang, jangan harap menemukan pemandangan seperti itu. Bukan hanya kebun-kebun menjadi langka tergusur perumahan, peternakan yang dulu merupakan penghasilan rakyat juga ikut sirna. Sudah tidak terdengar lagi sapi-sapi yang melenguh di pagi hari.

Di tengah-tengah gemerlapnya Kemang dengan berbagai tempat hiburan, yang tersisa bagi warga Betawi hanya identitas keagamaan mereka. Azan subuh masih bergema dari masjid-masjid, meski di sekeliling mereka muda-mudi teler di kafe-kafe, lorong-lorong.

Azan Subuh menggerakkan warga Kemang berbondong-bondong ke masjid, tanpa peduli dengan kehidupan sekelilingnya yang serba wah. Mereka tak pernah berubah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement