Selasa 06 Feb 2018 16:06 WIB

Jakarta Kebanjiran Sejak Kerajaan Tarumanegara Hingga Hindia Belanda

Mushala Al-Innayah terkena banjir di kawasan Pejaten Timur,Jakarta, Senin (5/2).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mushala Al-Innayah terkena banjir di kawasan Pejaten Timur,Jakarta, Senin (5/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Banjir tak pernah jemu menggenangi Ibu Kota. Pascahujan deras yang mengguyur di Bogor, Depok, hingga sejumlah wilayah di Jakarta, Ibu Kota terancam dilumpuhkan air. Dalam dua hari terakhir saja, di sejumlah wilayah Jakarta puluhan ribu warga yang kediamannya kebanjiran mengungsi ke berbagai tempat penampungan, termasuk masjid dan sekolah. Tidur saling berdesakan dalam keadaan perut keroncongan, kedinginan dan terserang penyakit.

Kita patut mengacungkan jempol atas partisipasi masyarakat dalam membantu para korban banjir. Sementara, warga tajir yang tinggal di pemukiman-pemukiman mewah lebih memilih mengungsi ke hotel-hotel berbintang yang selama musibah banjir ini malah dipadati pengunjung.

Banjir di Jakarta sudah terjadi sejak lama, dan selalu memusingkan para wali kota dan gubernur untuk mengendalikannya. Sejak Wali Kota Suwiryo sampai Sudiro, gubernur Dr Sumarno sampai Sutiyoso. Pun dengan kepemimpinan Fauzi Bowo, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), hingga Djarot Saiful Hidayat. Para gubernur jenderal Belanda, sejak JP Coen sampai AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer, juga gagal mengatasi banjir di Jakarta (dh Batavia). Kini kita perlu melihat sepak terjang Anies Baswedan dalam mengatasi permasalahan klasik tersebut.

Ada 66 gubernur jenderal Hindia Belanda yang berkuasa di Batavia. Tidak ada yang pernah merasa bersalah atas terjadinya banjir di kota ini. Bahkan Sutiyoso ketika banyak pihak menyorotinya menyatakan selama banjir dia siaga terus hampir selama 24 jam per hari dan baru bisa tidur pukul 03.00 pagi.

Tapi, seorang penulis Amerika Serikat yang selama beberapa tahun menjadi staf kantor penerangan AS (USIS) di Jakarta, ketika menulis tentang kota ini menyalahkan pendiri Batavia JP Coen karena mendirikan kota di atas rawa-rawa. Kalau saja Coen bijaksana dan memilih tempat yang lebih tinggi, setidaknya bencana banjir dapat dikurangi, dan tidak memusingkan para penggantinya.

Banjir paling besar di Jakarta terjadi pada 1872, sehingga Sluisburg (Pintu Air) di depan Masjid Istiqlal sekarang ini jebol. Kita tidak tahu bagaimana banjir besar 135 tahun lalu itu dibandingkan dengan banjir sekarang. Yang pasti ketika itu Ciliwung meluap dan merendam pertokoan serta hotel di Jl Gajah Madah dan Hayam Wuruk.

Sejak banjir besar itu terjadi, pemerintah Belanda berusaha keras untuk membebaskan kota ini dari banjir dengan membuat Banjir Kanal Barat. Namun, saluran pembuangan banjir itu sekarang ini boleh dibilang sudah tidak berarti lagi bagi Jakarta. Sebab, ketika Banjir Kanal Barat didirikan, penduduk Batavia baru sekitar 600 ribu jiwa.

Sekarang, penduduk Jakarta sudah belasan juta jiwa. Dan, tanpa memperhitungkan bahaya banjir, banyak di antara mereka yang tinggal di bantaran-bantaran sungai. Mereka juga menjadi sungai sebagai tempat pembuangan sampah yang terlarang keras pada masa kolonial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement