Ahad 31 Dec 2017 07:01 WIB

Petasan Awalnya untuk Nimpuk Setan

 Atraksi manusia petasan turut memeriahkan acara Gebyar Islami Budaya Betawi di Pertukangan Utara, Jakarta, Ahad (2/4).
Foto:

Dulu di Jakarta terdapat Gang Petasan, di sekitar Jalan Hayam Wuruk, masuk ke sebuah lorong. Kalau kini di tempat pembuatan petasan sering terjadi kebakaran akibat peledakan, tempo dulu tidak pernah terjadi peristiwa semacam itu.

Kembang api atau janghwee dulu juga memiliki pabrik di Jakarta. Di Angke, Jakarta Barat, ada Jl Teratai yang dulu bernama Jl Janghwee, karena ada pabrik kembang apinya. Entah siapa dan kapan memulainya, orang Betawi pun ikut-ikutan. Tapi, mereka memasang petasan bukan untuk menakut-nakuti setan, melainkan dijadikan alat komunikasi antarkampung. Maklum, ketika itu belum ada telepon, atau ponsel seperti sekarang.

Ketika terjadi revolusi fisik 1945, penduduk Jakarta yang sekarang berjumlah 14 juta jiwa, hanya setengah juta jiwa. Karena Belanda membangun kota ini hanya untuk 800 ribu jiwa. Jalan Thamrinb dan Jl Sudirman masih tanah dan bila hujan sulit dilalui. Kawasan Kuningan masih menjadi tempat peternakan sapi dan penjual susu. Demikian juga Buncit dan Kemang.

Pasar Minggu dan Ragunan masih sawah dan kebun buah-buahan. Jadi, yang disebut kampung saat itu masih sunyi senyap. Paling-paling hanya ada enam atau tujuh rumah. Satu atau dua kilometer dari sebuah kampung baru terdapat kampung lainnya. Begitu seterusnya.

Kalau ada satu kampung ingin mengadakan hajatan seperti menikahkan anak atau khitanan, bahkan menunaikan ibadah haji, undangan dengan membunyikan petasan paling efektif.Kampung yang mendengar rentetan bunyi petasan akan

bertanya-tanya, "Dari mane tuh datangnye petasan? kemudian ada yang memberi tahu, oh, si Anu ingin

menikahkan anaknya". Atau, "Si Anu ngundang ingin pegi haji".

Ketika petasan dipasang di Kemang, maka penduduk di Kampung Mampang yang berdekatan akan bertanya-tanya ada apa tuh orang Kemang masang petasan. "Oh si Anu mengundang ingin nikahkan anaknya".

Waktu itu, banyaknya petasan menunjukkan status sosial seseorang. Makin banyak memasang petasan ia akan makin mendapat pujian. "Oh, si Anu yang mau pegi haji petasannya sampai segerobak," kata orang yang mendengarnya. Sampai sekarang, di kampung-kampung pinggiran Jakarta apabila besan datang ke rumah calon mempelai wanita akan dibunyikan berenteng-renteng petasan.

Kala itu juga ada petasan impor dan petasan lokal. Petasan impor dari Jepang dan petasan lokal dari Parung, Kabupaten Bogor. Petasan impor bukan saja harganya lebih mahal,suaranya lebih keras dan nyaring. Sedangkan petasan Parung tidak begitu keras, dan tidak menjadi kebanggaan. Ah petasan kampung, ejekan yang sering dikemukakan kala itu.

Menurut tokoh Betawi, H Irwan Syafi’ie (80 tahun), dulu petasan bagi orang Betawi juga untuk membangunkan warga saat makan sahur. Warga Betawi juga memasang petasan saat Idul Fitri, dikaitkan dengan kagembiraan setelah berpuasa selama sebulan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement