Jumat 28 Jul 2017 07:00 WIB

Kiprah Umat Yahudi 'Cari Makan' di Indonesia

Puasa dalam ajaran Yahudi.
Foto:
Muslim dan Yahudi

Sebuah klooster lainnya dibangun 1859 di samping Kantor Pos Pasar Baru dengan nama yang sama. Pada masa VOC (1602-1799), ketika terjadi pertentangan tajam antara Protestan dan Katolik, kegiatan peribadatan Katolik terlarang di Hindia Belanda.

Baru pada 8 Mei 1807, Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte yang menguasai Nederland, mengizinkan berdirinya gereja Roma Katolik. Hingga berdirilah katedral (gereja Katolik) yang letaknya bersebelahan dengan Masjid Istiqlal. Rupanya di abad ke-19, ke-20, dan menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, di antara para pengusaha Eropa papan atas terdapat warga Yahudi, misalnya Olislaeger, Goldenberg, dan Ezekiel. Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang pernah meraih sukses di Indonesia.

Mereka pedagang tangguh yang menjual permata, emas, intan, perak, arloji, kaca mata, dan berbagai komoditas lainnya. Mereka memiliki sejumlah toko di Risjwijk dan Noordwijk. Seperti dikemukakan Zaki Shahabuddin, pada 1930-an dan 1940-an, jumlah warga Yahudi di Jakarta cukup banyak. Menurutnya bisa mencapai lebih dari ratusan orang. Mereka pandai berbahasa Arab.

Karena berbicara Bahasa Arab, mereka sering dikira keturunan Arab. Di antara mereka ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan Hindia Belanda, yaitu Tjandra, gubernur jenderal Hindia Belanda terakhir yang menyerah ketika Jepang menyerbu Indonesia.

Banyak di antara residen dan asisten residen Belanda di Indonesia adalah warga Belanda keturunan Yahudi. Seperti dituturkan Zaki yang mempunyai daya ingat kuat, para Yahudi ini, di Batavia memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabtu, hari suci umat Yahudi, mereka sering berkumpul. Tempatnya di gedung yang kala itu terletak di sekitar Manggabesar, Jakarta Barat. Di gedung inilah rabbi (imam Yahudi) berceramah dengan kitab sucinya ‘Jabur’.

Ali Shatri (86 tahun), juga mengisahkan tentang keberadaan orang-orang Yahudi di Jakarta. “Dulu belum ada permusuhan seperti sekarang ini. Apalagi mereka memakai paspor Belanda, dan banyak yang mengaku orang Belanda.”

Bahkan, kata Ali, terhadap orang Arab mereka sering mengatakan bersaudara. “Kita keturunan (Nabi) Ishak dan Arab keturunan Ismail,” kata Ali mengutip seorang Yahudi yang pernah berbincang dengannya pada masa pendudukan Belanda. Kita tidak tahu apakah sebelum berdirinya Israel saat itu, Yahudi sudah memiliki jaringan di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement