Selasa 25 Jul 2017 07:26 WIB

Doktrin Yahudi di Indonesia: Semua Agama Sama!

Gedung Setan
Foto: IST
Gedung Setan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Orang Betawi sampai awal abad ke-20 dengan rasa takut menyebut gedung dengan enam buah pilar sebagai penyangganya adalah ‘rumah setan’. Letaknya bersebrangan dengan Gedung Mahkamah Agung (MA) pada masa Bung Karno dan awal pemerintahan Pak Harto. Gedung MA sendiri terletak di sebelah kanan Departemen Keuangan di Lapangan Banteng, yang rencana awalnya oleh Gubernur Jenderal Daendels akan dibangun Istana, namun urung dilakukan.

Gedung Setan terletak di Vrijmet Selaarweg (kini Jalan Budi Utomo), tidak jauh dari Kantor Pos Pasar Baru, Jakarta Pusat. Bangunan yang memiliki loge (loji) merupakan perkumpulan kaum Theosofi De Ster in het Oosten atau Bintang Timur. Tapi lebih populer dengan sebutan rumah setan, sebutan yang dibisikkan pribumi dengan rasa takut. Dahulu, di sebelah ‘rumah setan’ terdapat perumahan para perwira dan petinggi Belanda.

Di rumah setan inilah yang kemudian pada awal abad ke-20 menjadi gedung farmasi Rathkamp dan kini Kimia Farma setelah diambil alih pemerintah RI dijadikan pusat kegiatan Freemason suatu gerakan yang menjadi kaki tangan zionisme sejak abad ke-18 di Indonesia. Waktu itu namanya ‘La Choisile’ didirikan pada 1763 oleh Jacobus Cornelis Mattheus Roderman Cher (1741-1783) beserta enam orang kawannya.

‘La Choisile’ kemudian membangun dua loge (loji) lainnya yang sebagian besar anggotanya para militer dan petinggi Belanda, termasuk perwira-perwira VOC. Menunjukkan sejak ratusan tahun lalu Yahudi telah mengembangkan sayapnya di Indonesia. Dulu di Noordwijk (Jl Juanda) dan Rijswijk (Jl Segara) yang merupakan pusat perdagangan dan pertokoan di Batavia warga Yahudi banyak yang membuka toko.

Kedua loge (loji) hingga kini masih berdiri sekalipun fungsinya sudah beralih menjadi pabrik Kimia Farma. Di dekatnya dulu terdapat SMA terkenal Budi Utomo.

Pada awal gerakannya Freemason atau Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda, menggunakan kedok persaudaraan, kemanusiaan, tak membedakan agama dan ras, warna kulit dan gender, apalagi tingkat sosial di masyarakat. Mereka menitikberatkan gerakannya pada kegiatan ilmiah dan bersifat keilmuan. Gerakan ini juga memberikan beasiswa pada murid-murid berbakat. Tidak heran banyak tokoh masyarakat ketika itu bersimpati pada gerakan ini.

Satu dari sekian doktrin yang dengan kuat diajarkan dalam persaudaraan ‘Freemason’ adalah sikap mereka pada agama. Mereka menganggap semua agama sama. Ini sama persis dengan apa yang marak kita temui hari-hari dengan nama lain: pluralisme. Dan memang sesungguhnya pluralisme pun adalah ajaran dari pemikiran orang-orang Yahudi. Tulis Herry Nurdi dalam buku ‘Jejak Freemason & Zionis di Indonesia’. Menurut para orang tua, masyarakat sendiri banyak tertipu menyangka warga Yahudi adalah keturunan Arab karena menggunakan bahasa ini dengan fasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement