Selasa 31 Jan 2017 08:37 WIB
Imlek 2017

Alasan Mengapa Warga Keturunan Cina Cenderung Memisahkan Diri

Rep: Lintar Satria/ Red: Karta Raharja Ucu
Kampung cina di Batavia tahun 1910.
Foto:
Mengiringi kereta jenazah keluarga Tionghoa.

Steward Gordon dalam buku When Asia was The World mengungkapkan, pada zaman Ma Huan, Cina memang sudah melakukan perdagangan di Asia Tenggara sampai India. Pada 1413 sampai 1415 Ma Huan berlayar ke selatan dan barat Cina lalu mengarah ke Samudra Hindia. Di pesisir Jawalah pertama kalinya Ma Huan bertemu dengan komunitas orang Cina perantau.

"Tupan... adalah nama sebuah distrik. Di sini terdapat lebih dari seribu keluarga, dengan dua lelaki yang mengepalai mereka. Banyak warga di sana yang berasal dari provinsi (Guangdong)" tulis Ma Huan. 

Di Jawa, Ma Huan mengamati pola umum kehidupan di kota-kota pelabuhan tersebut. Ma Huan terkesan dengan kesenian setempat. Ia melihat seseorang yang membuat lukisan manusia, burung, hewan di atas kertas.

Selama melukis orang itu membuka gulungan kertas, mendorongnya ke arah orang-orang yang sedang menonton sambil menyampaikan sebuah kisah. Ketertarikan perantau Cina terhadap tradisi lokal juga menyerap ke peranakan.

Denys Lombard mencatat, pada 1740 menandai perubahan zaman. Masyarakat Cina porak-poranda serta bingung dan muncullah kembali kecenderungan untuk menganut agama Islam. Kaum peranakan membangun masjid mereka sendiri, dan terdapat beberapa contoh makam Muslim yang nisannya bertuliskan huruf Cina.

Menurut Lombard, perubahan agama menjadi kenyataan keluarga-keluarga pembesar Cina menerima kebudayaan Jawa dan senang mengoleksi topeng serta wayang kulit. Pada abad ke-17 dan 18 pun jarang dibangun kelenteng luar Batavia. Pada abad-abad tersebut hanya ada satu kelenteng di Banten, satu di Cirebon, tiga di Semarang, satu di Makassar dan 13 di Batavia.

Namun, keadaan ini berubah dratis, kata Lombard, pada paruh kedua abad ke-19. Lombard menjabarkan penyebab adanya perubahan dalam proses asimilasi tersebut. Pertama, karena pertanian yang mandek di Cina pada akhir kekuasaan Dinasti Qing. Hal ini mengakibatkan tidak mencukupinya makanan bagi penduduk.

Sementara, di Hindia Belanda wilayah baru terus dibuka dan memerlukan tenaga kerja yang banyak. Maka emigrasi kuli pertama yakni eksploitasi tambang-tambang emas di Borneo oleh bangsa Hakka. Mereka dibawa dan dikendalikan orang-orang Barat.

Perantau Cina yang sebelumnya hanya berjumlah 100 ribu jiwa di Jawa membengkak menjadi 500 ribu jiwa menjelang abad ke-19. Karena mendadak jumlahnya banyak dibayar murah dan tidak diterima baik oleh masyarakat, para perantau tidak punya pilihan lain selain bergabung dan membuat jaringan. 

"Dengan demikian kelenteng yang tumbuh berpuluh-puluh selama beberapa dasawarsa (terutama selama masa Guangxu, 1875-1908) berfungsi sebagai lambang identitas budaya dan merangkap sebagai tempat pertemuan atau klub," tulis Lombard.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement