Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rahmatullah

Pandangan Fikih Terkait Paylater

Eduaksi | Monday, 25 Apr 2022, 11:47 WIB

Semakin berkembangnya teknologi semakin kita dimudahkan dalam berbagai macam aktivitas, baik itu terkait pendidikan, kesehatan, komunikasi, hingga dalam aktivitas pinjam-meminjam uang.

Hari ini, hampir semua marketplace menawarkan jasa paylater, yang mana tujuan utamanya adalah memudahkan kita ketika memerlukan dana lebih.

Memang kalau kita melihat sekilasnya saja ini akan sangat membantu, namun tidak demikian, kita mesti hati-hati juga melihat kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh marketplace ini.

Prinsip Dasar Paylater

Prinsip dasar dari paylater ini secara netral kita katakan bermanfaat bagi pengguna untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat kebaikan dan yang tidak bertentangan dengan syariah.

Akan tetapi, bentuk transaksi yang menyebabkan cara-cara ini yang bisa jadi tidak diperbolehkan sehingga diperlukan prinsip kehati-hatian.

Paylater dihukumi sebagai Riba

Transaksi ribawi terjadi ketika penyedia layanan paylater bertindak sebagai kreditur (pemberi pinjaman) sehingga mendapatkan keuntungan berupa bunga.

Contohnya:

1% (minimal Rp 1000) dari nilai transaksi; 2-4% perbulan; bunga disesuaikan dengan jangka waktu cicilannya, dsb.

Paylater dihukumi sebagai Ijarah (sewa)

Menjadi ijarah dikarenakan adanya sewa jasa alat perantara antara pembeli dan penyedia layanan, yaitu berupa teknologi aplikasi. Tanpa aplikasi tersebut, transaksi tidak bisa dilakukan.

Note: Keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan penyediaan teknologi aplikasi merupakan ujrah (upah/fee)

Bagaimana ketentuan Ujrah?

Berasal dari suatu perbuatan yang jelas dengan batas waktu pengerjaan yang jelas pula, berdasarkan kesepakatan dan tidak mengekploitasi kedua pihak.

Paylater dihukumi sebagai Jual Beli

Bai’ bi al-Wafa’ atau jual beli yang dilakukan seseorang karena adanya hajat yang tidak bisa dihindari sehingga perlu pihak perantara.

Hubungan jual-beli beralih dari pembeli-penjual ke pembeli-penyedia layanan. Jadi, barang/jasa dibeli terlebih dahulu oleh penyedia layanan, lalu dijual ke pembeli.

Lantas, darimana keuntungan penyedia layanan paylater?

Dari margin jual beli (mirip seperti murabahah di bank syariah). Apabila pembayaran dicicil, fatwa MUI memperbolehkan harga jual tidak tunai lebih tinggi daripada harga tunai. Besar cicilan selalu sama hingga jatuh tempo.

Pertanyaannya, apakah penyedia layanan paylater membeli terlebih dahulu barang/jasa tersebut? Atau mereka memiliki persediaan barang/jasa?

Paylater dihukumi sebagai Ju’alah

Ju’alah adalah janji atau komitmen untuk memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil yang ditentukan dari suatu pekerjaan, dalam paylater ini adalah mencarikan utangan.

Contoh: Carikan aku utangan sebesar 100 dan kamu akan mendapatkan dariku 10%-nya.

Praktik semacam ini diperbolehkan. Namun, terdapat catatan:

Status pihak yang mencarikan utangan tidak boleh berubah menjadi penanggung yang akan dimintai pertanggungjawaban atau pelunasan.

Ilustrasi dalam paylater, pihak penyedia layanan mencarikan utangan, pembeli memberikan imbalan, pembeli tetap berkewajiban membayar utang.

Paylater dihukumi sebagai Kafalah

Seperti kartu kredit syariah, penyedia layanan menjadi penjamin atas kewajiban bayar yang timbul dari transaksi antara pembeli dan penjual.

Penyedia layanan menerima fee dari pembeli/pengguna atas pemberian kafalah.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah soal denda.

Perlu dipahami bersama, tidak ada riba dalam kartu kredit syariah, yang ada adalah fee. Semestinya juga tidak ada denda keterlambatan. Namun, pada kenyataannya denda yang diterapkan berdasarkan maslahah mursalah menjadi dana sosial. Artinya, denda tersebut tidak dicatatkan sebagai keuntungan perusahaan penyedia layanan.

Maslahah Mursalah: sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau mengindarkan keburukan bagi manusia.

Bagaimana kita menyikapinya?

Menurut hemat penulis, paylater ini sama halnya dengan kartu kredit tapi dengan cara yang jauh lebih praktis, jika ingin menggunakannya, maka kartu kredit syariah yang telah ada seperti Hasanah Card bisa menjadi pilihan.

Kita sebagai manusia memang tidak akan pernah lepas dari perkembangan teknologi, yang terpenting kita sebagai umat muslim wajib memahami rambu-rambu syariahnya, bukan hanya tentang paylater saja melainkan barang/jasa yang dibeli harus halal dan legal.

Memang diperlukannya kearifan dalam menyikapi kelima praktik paylater ini, pahami dulu S&K disetiap penyedia layanan. Apabila tidak mendesak/darurat, lebih baik kita membeli apa yang kita mampu bayar.

Hati-hati dalam berhutang, sebab akan membuatnya menjadi candu.

Wallahu a’lam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image