REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pendidikan di era milenial merupakan tantangan bagi para guru. Saat ini bukan lagi era transfer of knowledge yang ditandai dengan pembelajaran searah dengan memosisikan peserta didik sebagai konsumen.
“Era sekarang ilmu pengetahuan telah menjadi barang publik dan mudah didapatkan di mana saja dan kapan saja,” kata Zulfikri Anas dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kemendikbud saat mengisi Seminar Nasional "Implementasi Esesnsi Kurikulum 2013 di Era Industri 4.0” di Gedung Dewi Sartika, Kampus UNJ Rawamangun, Jakarta, Selasa (22/5).
Seminar yang diadakan oleh Lembaga Pendidikan dan Penjaminan Mutu- Universitas Negeri Jakarta (LP3M-UNJ) diikuti sekitar 460-an peserta. Mereka terdiri dari mahasiswa Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) SM3T, para dosen, dan instruktur PPG.
Pakar kurikulum itu menambahkan, hal-hal yang harus terjadi dalam pembelajaran adalah menguatkan kemampuan olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olah ragawi setiap anak. “Hal itu penting agar mereka mampu memaknai, mengolah, menginterpretasi, menyaring berbagai informasi yang ada di sekitar,” ujar Zulfikri yang juga menjabat sebagai direktur Institut Indonesia Bermutu.
Siswa harus disadarkan bahwa ilmu pengetahuan bukan untuk dihafal, tapi dimanfaatkan dalam kehidupan. “Untuk itu, materi pelajaran bukan sebagai tujuan, tetapi alat,” tuturnya.
Oleh karena itu, kata pria yang akrab dipanggil Zul, guru harus mampu lepas dari belenggu yang mengekang. Guru harus berani melakukan hal-hal yang tidak biasa.
“Ketika kita terjebak dalam pemikiran bahwa pendidikan bermutu lahir dari kendali administrasi yang ketat dan kaku, sesungguhnya kita telah mempersempit ruang bagi lahirnya kreativitas, dan cara itu akan mengorupsi fungsi-fungsi kemanusiaan dalam diri peserta didik. Ini mejadi kontaproduktif dengan kebutuhan kehidupan di era revolusi industri 4.0 saat ini,” tegas Zulfikri.
Suasana seminar pendidikan mengenai implementasi esensi Kurikulum 2013 di era industri 4.0 yang diadakan oleh LP3M UNJ.
Out of the box
Ketua LP3M UNJ Totok Bintoro mengemukakan, masyarakat saat ini berada di era otomatisasi. Era di mana mesin semakin jauh menggantikan posisi manusia, bukan tidak mungkin suatu ketika ada mesin yang mampu membaca pikiran dan perasaan manusia. “Bila itu terjadi, bidang-bidang keahlian yang selama ini dikerjakan oleh manusia akan digantikan oleh mesin,” kata Totok pada pembukaan seminar.
Di samping itu, era ini ditandai oleh poses digitalisasi yang makin canggih. “Jika kita tidak mampu beradaptasi menciptakan generasi yang berpikir jauh melampaui kecanggihan teknologi yang ada saat ini, maka mereka akan tergilas oleh zamannya sendiri. Untuk itu, sebagai guru kita harus memiliki kemampuan adaptasi (adatable) yang tinggi, syukur-syukur mampu berpikir jauh ke depan, melampaui kecanggihan teknologi yang ada saat ini. Untuk itu, sebagai pendidik sejati, guru harus berani berpikir out of the box,” papar Totok Bintoro.
Koordinator Pendidikan Profesi Guru (PPG) UNJ, Khaerudin mengatakan, pihaknya sengaja mengangkat tema Implementasi Esensi Kurikulum 2013 di Era Industri 4.0. “Sengaja kita angkat tema ini karena yang menjadi persoalan saat ini adalah guru-guru belum memahami sepenuhnya esensi kurikulum 2013,” ujarnya.
Padahal, kata Khaeruddin, jika esensinya dipahami, guru tidak perlu galau, masyarakat juga tidak perlu gaduh. “Dan yang paling penting suasana belajar menjadi interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik,” tuturnya.
Salah seorang peserta seminar, Akhmad Syarif dari PPG UNJ mengemukakan, esensi kurikulum adalah proses pendidikan untuk menyadarkan dan meyakinkan setiap peserta didik bahwasanya gerak gerik tingkah laku dan perbuatan kita selalu diawasi oleh Sang Pencipta.
“Dengan demikian, setiap anak akan berusaha memberikan yang terbaik dengan ikhlas sesuai potensi dirinya untuk kemajuan peradaban dengan harapan Allah akan memberikan karunia dan rahmat-Nya di dunia ataupun di akhirat,” papar Akhmad Syarif.
Totok Bintoro menambahkan, sebagai tindak lanjut dari Seminar Nasional ini, LP3M melalui PPG telah merencanakan untuk menyusun modul-modul pelatihan yang sifatnya menyadarkan para guru bahwa keberadaan kurikulum memudahkan sesuatu yang sulit, bukan sebaliknya.
Setelah ini akan dilakukan workshop untuk “membumikan kurikulum” terhadap 14 Program Studi yang ada. “Melalui program ini diharapkan tidak adalagi keresahan di kalangan guru sekalipun pemerintah mengubah kebijakan setiap saat,” ujar Totok Bintoro.
Menurutnya, guru harus menyadari bahwa kurikulum itu dinamis mengikuti perkembangan zaman ke depan. Sebetulnya, pada saat kurikulum ditetapkan, ia segera ditinggalkan oleh zaman.
Dalam konteks inilah diperlukan pemahaman esensi kurikulum agar guru dapat menyesuaikan dan mengembangkan diri serta berorientasi jauh ke depan. “UNJ siap mengembangkan program-program pelatihan atau workshop yang sama sekali berbeda dari yang selama ini dilakukan. Tanpa upaya itu kita tidak dapat berbuat apa-apa,” paparnya.
Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi DKI, Afrizal Sinaro mengemukakan, dunia penerbitan siap bersinergi dengan LPTK seperti UNJ ini, khususnya dengan LP3M melalui PPG.
“Ke depan kita harus bergandengan tangan melalui kegiatan-kegiatan praktis yang memudahkan guru, misalnya workshop menyusunan modul atau media pembelajaran kreatif, digitalisasi bahan-bahan ajar dan sebagainya,” ujarnya.
Afrizal juga mendorong para dosen-dosen UNJ untuk menulis buku panduan, pengayaan dan penunjang bagi guru.