Ahad 15 Apr 2018 02:02 WIB

FSGI Soroti High Order Thinking Skills di Soal Matematika

Para siswa masih berpikir di level tingkat rendah (lower order thinking skill).

Rep: Farah Noersativa/ Red: Ratna Puspita
Sejumlah pelajar SMA di Medan melakukan corat-coret seragam usai Ujian Nasional (UN), di Medan, Sumatera Utara, Kamis (12/4).
Foto: Antara/Septianda Perdana
Sejumlah pelajar SMA di Medan melakukan corat-coret seragam usai Ujian Nasional (UN), di Medan, Sumatera Utara, Kamis (12/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyoroti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sengaja menaikkan tingkat kesulian soal Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun ini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan soal yang membutuhkan daya nalar tinggi atau high order thinking skills (HOTS), khususnya pada mata pelajaran matematika. 

FSGI menyoroti, dalam konteks teori pendidikan, tingkatan keterampilan berpikir atau cognitive skills yang merupakan domain pengetahuan memiliki enam tingkatan atau dikenal dengan Taksonomi Bloom. Dalam teori itu, semakin tinggi tingkatan maka disebut sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi.

“Faktanya, kondisi saat ini  para siswa kita masih berpikir di level tingkat rendah (lower order thinking skill), sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai assessment  internasional, seperti PISA dan TIMSS,” ujar Wakil Sekjen FSGI Satriwan Salim, dalam siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (14/4).

Menurutnya, keterampilan berpikir HOTS tersebut seharusnya bukan difokuskan pada akhir pembelajaran siswa atau dalam soal ujian seperti UNBK. Dia mengatakan, berpikir tingkat tinggi atau HOTS sebaiknya ditunjukkan ke dalam proses pembelajaran siswa selama tiga tahun.

“Itu artinya, pernyataan dan pembelaan diri Mendikbud  kemungkinan besar keliru, karena memfokuskan berpikir HOTS hanya pada soal UNBK. Menguji seorang anak dengan soal yang tidak pernah diajarkan adalah bentuk ketidakadilan,” ujarnya.

Dengan kondisi tersebut, FSGI menilai ada ketimpangan. Siswa tidak pernah diajarkan berpikir pada level HOTS. Proses pembelajaran di sekolah pun tidak sesuai standar HOTS. 

Namun, mereka harus menghadapi ujian dalam level tersebut. “Percuma saja soal-soal ujiannya di level tinggi, tetapi proses pembelajaran siswa tidak pernah menyentuh kemampuan berpikir kritis, evaluatif dan kreatif,” kata dia.

Dia menambahkan fakta di lapangan, guru dan siswa hanya fokus mempelajari soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, penyelenggaraan try out oleh sekolah dan dinas pendidikan setempat juga hanya melatih siswa agar mampu menjawab soal dengan cepat dan tepat. 

Dengan demikian, FSGI menilai pembelajaran tidak diarahkan kepada proses menumbuhkan kesadaran dan keterampilan berpikir kritis tersebut di dalam kelas. “Inilah salah satu cacat dari pelaksanaan UN sedari dulu,” ujarnya.

Sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan Kemendikbud mulai tahun ini mulai memberlakukan soal yang membutuhkan daya nalar tinggi atau high order thinking skills atau HOTS. Mendikbud menargetkan secara substantif meningkatkan kualitas dari UN tersebut dengan memasukkan soal HOTS tersebut.

Pada kesempatan berbeda, Muhadjir juga mengatakan pemberian bobot pada soal ujian nasional berbasis komputer (UNBK) khususnya untuk mata pelajaran matematika tingkat sekolah menengah atas (SMA) sederajat berbeda dengan penilaian biasanya. Pemberian bobot berdasarkan tingkat kesulitan soal. 

"Memang yang akan dipetakan lewat UN antara lain adalah aspek tingkat kesulitan tertinggi yang bisa dicapai oleh siswa. Tetapi pemberian bobotnya juga beda," ujar Muhadjir di Jakarta, Sabtu.

Mendikbud mengakui soal UN pada tahun ini lebih sulit karena memang yang ingin dipetakan melalui UN antara lain adalah aspek tingkat kesulitan tertinggi yang bisa dicapai oleh siswa. "Saya justru kecewa, kalau banyak siswa yang bilang soalnya gampang. Tidak belajar sungguh sungguh pun bisa mengerjakannya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement