Senin 19 Mar 2018 07:53 WIB

Pemkab Diminta Lebih Peduli Kesejahteraan Guru tidak Tetap

Para guru ini menuntut agar insentif yang diterima bisa setara Upah Minimum Kota.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Ratna Puspita
Guru mengajar (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Guru mengajar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN — Komitmen Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Semarang terhadap perbaikan kesejahteraan ribuan pegawai tidak tetap yang selama ini mengabdi di Sekolah Dasar Negeri kembali dipertanyakan. Sejauh ini, keberadaan ribuan tenaga lepas, khususnya pengajar Wiyata Bakti, sangat dibutuhkan guna menjawab persoalan banyaknya guru yang telah memasuki masa purna tugas.

“Namun peran ini belum sebanding dengan insentif yang kami terima dari Pemkab Semarang,” kata Ketua Paguyuban Wiyata Bakti Kabupaten Semarang Tri Mulyanto, Ahad (18/3).

Permasalahan ini, dia menjelaskan, sudah beberapa kali dibawa ke DPRD Kabupaten Semarang. Yang terakhir, perwakilan paguyuban kembali melakukan audiensi dengan wakil rakyat, Jumat (16/3).

Mulyanto mengatakan, ada beberapa hal yang dikehandaki oleh paguyuban. Pertama, masalah data valid pegawai tidak tetap, yang di dalamnya memuat jumlah guru Wiyata Bakti dan penjaga sekolah.

Dia mengatakan, dinas terkait belum bisa memberikan data valid tentang rasio siswa dan ketersediaan pengajar. Dia berharap Pemkab Semarang bisa menggunakan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang cukup valid.

Kedua, lanjutnya, tuntutan pegawai tidak tetap ini bukan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Namun, dia mengatakan, para guru ini menuntut agar insentif yang diterima bisa setara dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Selama ini, insentif yang diterima guru Wiyata Bakti berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu per triwulan. Jumlah ini, dia menyebutkan, sangat minim bagi para pegawai tidak tetap, apalagi untuk memberikan kesejahteraan.

Ia mencontohkan, satu keluarga pegawai tidak tetap diasumsikan berjumlah empat orang yang terdiri dari suami, isteri dan dua anak. Jika sekali makan seharga Rp 5 ribu maka keluarga itu membutuhkan Rp 60 ribu untuk satu hari atau tiga kali makan. 

Jika dikalikan satu bulan atau 30 hari maka kebutuhan makan keluarga tersebut mencapai Rp 1,8 juta. “Jumlah ini hampir setara dengan UMK kabupaten Semarang yang besarannya Rp 1,9 juta,” jelasnya.

Selama ini, masih jelas Mulyanto, jumlah pegawai idak tetap di Kabupaten Semarang mencapai 1.649 orang. Insentif yang diterima pegawai tidak tetap ini bervariasi.

Meski ada bantuan Operasional Sekolah (BOS), alokasi tiap sekolah tidak sama karena disesuaikan dengan jumlah siswa di masing- masing sekolah. Selain itu, ketentuan pemanfaatan dana BOS juga mengatur anggaran yang boleh disalurkan untuk pegawai tidak tetap dan Wiyata Bakti tak lebih dari 15 persen. 

Dengan demikian, jika sekolah memiliki siswa yang banyak maka insentif guru Wiyata Bakti bisa lebih banyak. Ia juga mengakui, selama ini tiap tiga bulan sekali menerima insentif dari Pemkab Semarang sebesar Rp 500 ribu. 

Kendati demikian, Pemkab Tidak menjelaskan besaran Rp 500 ribu ini terdiri dari elemennya apa saja. “Yang terakhir keinginan paguyuban adalah bupati bisa menerbitkan Surat keputusan agar para guru Wiyata bakti bisa mengikuti Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG),” ujar dia.

Persoalan kesejahteraan yang sama, sebelumnya juga menjadi perhatian Paguyuban Guru Tidak Tetap Pendidikan Agama Islam (PAI) yang juga ada di daerah ini. Wakil Ketua Paguyuban Guru Tidak Tetap PAI Kabupaten Semarang Mukito mengatakan, atas persoalan ini mereka menghindari cara penyampaian aspirasi dengan demonstrasi.

“Kami lebih memilih menyampaikan pendapat melalui jalur pendekatan, tentunya pendekatan yang langsung melibatkan pihak- pihak yang memang berkompeten,” ujarnya.

Padahal, kondisi di lapangan sangat memprihatinkan, jika dilihat dari sisi pendapatan. “Kendati situasi keluarga kurang mapan, namun jangan sampai berdampak pada pendidikan anak,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement