Kamis 18 Jan 2018 14:45 WIB

Perpusnas tak Pungut Biaya untuk Penggiat Literasi

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Yudha Manggala P Putra
Salah satu ruang di gedung depan Perpusnas yang difungsikan sebagai museum.
Foto: MGROL 99
Salah satu ruang di gedung depan Perpusnas yang difungsikan sebagai museum.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia Muh Syarif Bando mengundang seluruh masyarakat untuk bersinergi di perpustakaan khususnya di Perpustakaan Nasional. Perpusnas sejak empat bulan berdiri, tidak memungut biaya apa pun.

Ke depannya, pungutan akan dikenakan, kecuali untuk penggiat literasi dan komunitas membaca, apa pun yang dilakukan di Perpusnas, gratis. "Kalau mau memajukan Indonesia, bangunlah desa. Meskipun gedung Jakarta mencapai setinggi langit, itu tak mencerminkan kemajuan indonesia," ujarnya di Perpusnas, Rabu (17/1).

Hal tersebut disampaikan seiring dengan pembagian sepeda motor kepada beberapa penggiat literasi di seluruh Indonesia di Perpusnas kemarin. Syarif merasa sedih melihat, masih banyak masyarakat desa yang masih minim minat membaca.

Rasio penduduk sebuah desa dengan buku menurutnya sangatlah jomplang. Satu buku berbanding dengan 15 ribu orang. "Bungkus koran untuk membungkus kacang ataupun bumbu, dibaca sama mereka," ujarnya.

Oleh karena itu, ia mengajak kepada seluruh penggiat literasi untuk menumbuhkan minat membaca kepada masyarakat khususnya di pedesaan dan pelosok-pelosok negeri. "Saya ambil dar paparan ibu Sri Mulyani 6 Oktober 2017, yang memaparkan bahwa 45 tahun Jakarta ketinggalan dalam hal keterampilan budaya membaca, dan Indonesia ketinggalan 75 tahun penguasaan IT," ujarnya.

Ia juga mengajak pemerintah menumbuhkan kekuatan dari bawah, yaitu desa. Terlebih lagi dengan memasukinya tahun politik. Visi Misi kepala daerah dengan anggaran pemerintahan daerah menurutnya ada untuk mengembangkan dan bila perlu membuat buku.

Ia mencontohkan suatu daerah, kepala daerahnya memiliki visi mulia dengan memiliki pasokan beras dua juta ton. Setelah sembilan tahun kepemimpinannya, belum ada yang membuat buku bagaimana menanam padi yang baik, bagaimana memeroleh bibit yang baik sehingga dapat menghasilkan pasokan beras yang melimpah.

"Itu tidak ada, karenanya, meskipun, sedikit, membuat buku meskipun 30 halaman, sangat mengubah kesadaran membaca di masyarakat daerah," kata dia. Di daerah, sumber daya alam melimpah, sayur mayur, buah-buahan segar ada di desa. Namun, para petinggi di desa mengeluhkan masalah di desa perihal kurangngya puskesmas, kurangnya tenaga medis.

Padahal, yang kurang di suatu desa adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat. Lagi-lagi, lemahnya kesadaran membaca.

"Sayur segar, buah dan susu banyak, tapi penduduk Indonesia hanya lima persen yang minum susu. Mengapa? sebab, mereka tak baca tentang betapa pentingnya tubuh kita ini bagi yang namanya gizi dari luar. Pisang dibiarkan membusuk. Nggak ada yang ngajarin mereka bagaimana vitamin diciptakan pada sebuah pisang atau sayur. Mereka tak tahu manfaat besar bagi sumber daya alam di sekitar mereka," ujarnya.

Oleh karenanya, ia berharap penggerak literasi di berbagai wilayah di Indonesia menumbuhkan kesadaran membaca yang sasarannya bisa saja kepada ibu-ibu, karang taruna, petani, generasi muda, dan anak-anak. Agar, masyarakat cerdas, berpengetahuan luas, dan dapat hidup dengan sehat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement