Rabu 25 Oct 2017 18:25 WIB

'Pemuda Harus Siap Hadapi Era Disrupsi Teknologi'

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal saat mengisi seminar Edutech Festival 'Mengukir Senyum Pendidikan Indonesia' di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rabu (25/10).
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal saat mengisi seminar Edutech Festival 'Mengukir Senyum Pendidikan Indonesia' di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rabu (25/10).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mckinsey Global Institute memprediksi Indonesia akan memiliki bonus demografi pada tahun 2030 nanti, dimana jumlah penduduk usia produktif akan berjumlah dua kali lipat dari penduduk usia tua atau usia bayi. Hal ini berkebalikan dengan yang terjadi di Amerika Serikat, Australia, negara-negara Eropa, serta negara-negara maju lainnya.

Pengamat pendidikan, Muhammad Nur Rizal, mengatakan bonus demografi tersebut justru akan menimbulkan bumerang demografi jika kita tidak menyiapkannya dengan baik. "Bukannya bisa mengelola kekayaan alam dan sumber daya manusia dengan bijak, para anak muda tersebut malah akan menghabiskannya dengan boros. Bangsa kita pun akan gagal membawa kesejahteraan dan keadilan," kata Rizal dalam seminar Edutech Festival 'Mengukir Senyum Pendidikan Indonesia' di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rabu (25/10).

Oleh karena itu, kata Rizal, kita perlu menyiapkan generasi muda yang produktif dan inovatif serta menguasai ilmu pengetahuan dan literasi teknologi. "Generasi muda harus siap menghadapi era disruptif teknologi. Di masa mendatang mereka harus memiliki etos kerja, sikap terbuka, serta mampu bekerja sama untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang semakin kompleks dan berubah dengan cepat," kata dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi (DTETI) Universitas Gadjah Mada tersebut.

Di tangan generasi muda inilah, ujar Rizal, terletak kunci keberhasilan Indonesia meskipun tantangan lingkungan saat ini semakin sulit dimana terjadi perlambatan ekonomi dunia yang menyebabkan pengangguran dimana-mana. Kemudian, banyak pihak menyikapi kemajuan teknologi dan internet saat ini dengan salah.

"Keterbukaan informasi dan ilmu pengetahuan tidak membuat masyarakat lebih terbuka dan toleran, justru memicu menyempitnya wawasan karena mereka justru enggan bekerja sama dan mengelompok dengan orang yang sepaham saja dan menghakimi pendapat yang berbeda dengan dirinya," kata lulusan S3 Monash University, Australia, itu.

Oleh karena itu, kata Rizal, kita perlu membangun sistem pendidikan yang lebih adaptif terhadap perubahan globalisasi dan revolusi informasi digital. Sistem pendidikan yang terbuka serta memanusiakan manusia, bukan sistem pendidikan yang menyeragamkan yang dibangun dengan asumsi masa lalu. 

"Sistem itu akan melahirkan sekolah-sekolah masa depan. Sekolah yang menyenangkan, yang memberi ruang tumbuhnya keunikan potensi setiap anak manusia, yang membangun tiga aspek dasar ketrampilan manusia untuk hidup di era digital, yakni memiliki keseimbangan olah pikir, olah perilaku (karakter), serta etos kerja yang kuat dan gigih," ujar pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu.

Menurut Rizal, anak-anak muda kini dapat mempercepat perubahan dengan cara-cara milenial. "Seperti menjadi relawan yang menyiapkan sekolah sekolah masa depan yang mengelaborasi konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara secara modern dan kekinian," katanya menambahkan.

Sependapat dengan Rizal, Sekretaris Jurusan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, Deni Hardianto, mengungkapkan saat ini dunia sedang dilanda disrupsi (gangguan) dengan hadirnya media baru berupa teknologi informasi dan internet. "Oleh karena itu pendidikan harus beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Ke depan sekolah harus dibuat menyenangkan, membahagiakan, dan menyehatkan seperti yang ada di Finlandia," kata Deni.

Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, Haryanto, menegaskan di masa depan akan ada banyak profesi yang hilang akibat disrupsi teknologi. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia belum menyiapkan anak-anak didik untuk menghadapi era tersebut. "Di Indonesia siswanya abad 21, gurunya abad 20, dan kelasnya abad 19. Terdapat perbedaan yang cukup jauh. Saya berharap bidang teknologi pendidikan harus mengambil peran untuk mendekatkan gap-gap tersebut," kata Haryanto.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement