Ahad 30 Jul 2017 19:30 WIB

Kontrol Pemerintah Kekang Budaya Literasi di Sebagian ASEAN

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Nur Aini
Sejumlah anak membaca buku. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah anak membaca buku. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kampanye budaya literasi terhambat di sejumlah negara ASEAN. Sebagian besar disebabkan karena rendahnya dukungan pemerintah terhadap budaya literasi di negaranya.

Penerjemah buku asal Myanmar Mo Thet Han menggambarkan negaranya selama ini berada di bawah rezim militer. Hal itu membuat Myanmar mampu mengontrol kritik yang ditujukan pemerintah.

"Ada bangsa lain yang ditindas karena Budha ingin berada di atas, sampai sekarang, " kata Mo sebagai salah satu peserta ASEAN Literacy Festival 2017 di Jakarta, Ahad (30/7).

Ia menggambarkan tekanan rezim militer juga berdampak pada dunia pendidikan. Menurutnya, pendidikan Myanmar jauh tertinggal dibanding negara ASEAN lainnya. Kondisi itu menjadi pekerjaan rumah prioritas yang harus diselesaikan pemerintah saat ini. "Prioritas kerja pengembangan dunia pendidikan. Mereka rata-rata pikirannya tertutup karena tak ada pendidikan, " ujar dia.

Mo merasa bersyukur, kegiatan menerjemahkan buku, membuatnya mengenal banyak budaya dari negara lain. Namun, tidak demikian untuk warga Myanmar lainnya.

Sementara itu, penulis asal Thailand Mai Nardone mengatakan banyak masyarakat lebih tertarik dengan novel dari luar Thailand. Pun tidak sedikit penulis lokal yang terpengaruh pandangan dari luar. "Perlu ada upaya membangun narasi lokal lokal, " ujarnya.

Penulis asal Vietnam Tra Nguyen menuturkan minat baca masyarakat rendah. Banyak masyarakat lebih tertarik bermain sosial media, seperti Facebook. Hal itu diperparah dengan tekanan pemerintah terhadap koran dan penerbit buku. Kontrol pemerintah terhadap buku sangat ketat. Tidak jarang, beberapa buku harus dilarang terbit karena berbicara tentang politik. "Upaya meningkatkan literasi ada, tapi karena dikontrol pemerintah, tak nyaman, " ujar dia.

Hal itu juga berlaku bagi buku-buku yang akan diterjemahkan. Pemerintah sangat aktif menekan penerbitan buku. Ia mengatakan, karya yang melawan pemerintah sama artinya dengan tidak menerbitkan buku. "Melawan pemerintah tak bisa terbit. Independensi penerbit ada, tapi tetap nggak bisa bersuara, " ujarnya.

Direktur Program ASEAN Literacy Festival Okky Madasari mengatakan budaya literasi negara Asia Tenggara masih rendah. Bahkan, dari 60 negera yang disurvei, Indonesia menempati urutan kedua terendah. "Fakta memprihatinkan. Kita harus melakukan sesuatu untuk kesadaran literasi, " kata dia.

Salah satu upaya meningkatkan budaya membaca, yakni dengan kegiatan ASEAN Literacy Festival. Ia beranggapan, bangsa Asia Tenggara harus mulai sadar atas ketertinggalan dari negara-negara Eropa dan lain-lain.

Namun, Okky beranggapan, budaya intelektual berkembang apabila ada kebebasan kemerdekaan berpikir. Ia tidak menampik buruknya budaya literasi di negara Asia Tenggara tak lepas dari kontrol pemerintah.

Okky mengatakan, kegiatan ASEAN Literacy Festival berupaya memposisikan sastra, budaya membaca sebagai hal yang lebih menarik dari gawai. Festival juga mampu menghubungkan penulis dan penerbit di negara Asia Tenggara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement