Selasa 13 Dec 2016 22:28 WIB

Hasil Akreditasi Relevan dengan Moratorium UN

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah siswa mengerjakan soal Ujian Nasional SD mata pelajaran Bahasa Indonesia di SD Insan Kamil, jalan raya Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Senin (16/5).
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Sejumlah siswa mengerjakan soal Ujian Nasional SD mata pelajaran Bahasa Indonesia di SD Insan Kamil, jalan raya Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Senin (16/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Akreditasi Nasional (BAN) Sekolah dan Madrasah menilai hasil akreditasi sekolah/madrasah pada 2016, relevan untuk melakukan moratorium ujian nasional (UN). Ketua BAN SM Abdul Mukti menuturkan, akreditasi sekolah/madrasah di seluruh provinsi di Indonesia berbeda. Apalagi, jika memperbandingkan akreditasi sekolah/madrasah di Pulau Jawa dan luar Jawa.

Ia mengingatkan, berdasarkan UU Sisdiknas, evalusi belajar dilakukan oleh guru. Sementara negara, seharusnya melakukan penilaian terhadap pemenuhan standar nasional pendidikan melalui hasil akreditasi. "Kami informasikan saja, sejak 2015 penentuan kelulusan peserta didik bukan lagi UN, tapi ujian sekolah," kata Abdul Mukti di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Jakarta, Selasa (13/12).

Menurutnya, usulan Kemdikbud memoratorium UN, bukan hal baru. Hal tersebut merupakan pemenuhan terhadap UU Sisdiknas dan realitas adanya kesenjangan mutu pendidikan sekolah/madrasah di Indonesia.

BAN Sekolah dan Madrasah merilis akreditasi 51.013 dari 74.950 sekolah/madrasah pada 2016. Dari jumlah 51.013 itu, sekolah/madrasah dengan akreditasi A dan B  mencapai 90,9 persen. Sementara 9,1 persen lainnya, berada pada peringkat C dan TT (tidak terakreditasi).

Abdul Mukti mengatakan, selama ini akreditasi terkendala masalah keterbatasan anggaran. Ia merinci, terdapat 270 ribuan sekolah di Indonesia. Apabila ingin memenuhi siklus akreditasi lima tahunan, maka idealnya setiap lima tahun ada 50an ribu sekolah/madrasah yang terakreditasi.

"Kalau dananya mencukupi, bisa akreditasi 50an ribu. Siklus lima tahunan bisa terpenuhi," ujar dia.

Abdul Mukti mengatakan, permasalahan akreditasi yakni, keterbatasan kuota. Hal tersebut menyebabkan banyaknya satuan pendidikan yang sudah habis masa berlakunya, namun belum melakukan akreditasi ulang. Selama ini, ia mengatakan, BAN SM menyiasati dengan memperpanjang masa kreditasi suatu satuan pendidikan selama satu tahun.

"Sehingga kalau lihat secara sistem, kalau satuan pendidikan sudah terakreditasi, maka dia punya kewenangan untuk terbitkan sertifikat pendidikan," ujar dia.

Menurutnya, apabila ada moratorium UN, maka anggaran untuk UN dapat dialokasikan untuk peningkatan sarana prasarana sekolah dan percepatan akreditasi. Ia merinci, anggaran yang dialokasikan pemerintah sebenarnya hanya bisa mengakreditasi 30 ribu sekolah/madrasah. Moratorium diharapkan dapat menambah kuota 30 ribu menjadi 50an ribu.

"Sebenarnya ada 74.950 yang harus diakreditasi. Namun, kuota yang diberikan Kemdikbd tahun ini sangat jauh dari yang diharapkan. Idealnya, setiap tahun diberikan 55 ribu kouta," tutur dia.

Abdul Mukti mengatakan, sejak 2015 akreditasi menjadi dasar penerimaan SNMPTN. Penerimaan mahasiswa melalui jalur itu mengakui perpanjangan masa akreditasi satu tahun yang diberikan BAN S/M. Namun, apabila sekolah sudah melewati batas masa perpanjangan, maka pelajar tidak bisa diterima menggunakan jalur tersebut.

"Ini yang jadi masalah dalam pemenuhan kuota. Sehingga, kalau 2017 bisa dapat tambahan kuota, maka prioritas untuk SMA/MA. Mereka butuh untuk penentuan masuk ke perguruan tinggi," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement