Selasa 01 Nov 2016 10:23 WIB

Praktisi Pendidikan: Pendidik Harus Lawan Miskonsepsi

Rep: umi nur fadhilah/ Red: Esthi Maharani
Guru honorer yang tergabung dalam Forum Honorer Komunikasi Kategori 2 Indonesia (FHK2I) berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (31/10).
Foto: Antara/Agus Bebeng
Guru honorer yang tergabung dalam Forum Honorer Komunikasi Kategori 2 Indonesia (FHK2I) berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (31/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktisi pendidikan, Najelaa Shihab meminta para pendidik mempraktikkan merdeka belajar dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, ia menilai, para pendidik terkendala dalam mengembangkan diri.

"Kita bersama sedang melawan miskonsepsi yang selama ini menjadi belenggu proses pengembangan diri guru," kata Direktur Utama Kampus Guru Cikal itu dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (1/11).

Najelaa merinci, setidaknya ada lima miskonsepsi tenaga pendidik. Pertama, guru hanya akan belajar bila menerima insentif, seperti, sertifikat, peringkat, nilai atau uang. Ia meyakini, belajar adalah kebutuhan alamiah guru. Sehingga, menurutnya, apabila dorongan belajar muncul, karena ingin menemukan solusi masalah yang dihadapi di kelas. Pun ia menyebut, gemar belajar tumbuh karena pengalaman berhasil mencapai tujuan pendidikan.

Kedua, guru hanya bisa belajar dari pakar dan ahli. Menurutnya, guru akan lebih efektif belajar dari kolaborasi sesama guru. Ia mengatakan, sumber inspirasi bukan figur yang serba tahu dan sempurna. Namun, rekan seperjalanan yang realistis dengan pengalaman nyata, dan praktis, seringkali gagal sebelum berhasil.

Ketiga, guru hanya perlu mengikuti resep standar, yakni 'bagaimana melakukan sesuatu'. Ia berujar, banyak yang percaya, hanya ada satu kriteria guru efektif. Padahal, menurutnya, pertanyaan utama efektivitas harus dikaitkan dengan konteks. Maksudnya, efektif untuk siapa, di mana? Ia menyebut, salah satu tanda pendidik profesional adalah kemampuan adaptif.

"Kita perlu tahu 'kenapa', agar bisa menyesuaikan apa yang dilakukan dengan kebutuhan murid, orangtua dan lingkungan belajar di tahun ajaran ini dan di hari ini," tutur Najelaa.

Keempat, pengembangan guru bisa dilakukan instan, dipaksakan dengan target terburu-buru. Najelaa tidak menampik, dunia dibanjiri informasi, pendidikan tidak pernah kekurangan inovasi. Namun, yang selalu kurang, adalah waktu mengimplementasikan inovasi. Menurutnya, guru butuh waktu memahami dan memutuskan apakah inovasi ini sesuai, perlu dimodifikasi atau tidak bisa dipakai.

"Guru butuh proses berefleksi untuk bisa berkreasi," ujar dia.

Kelima, kompetensi guru adalah soal kemampuan dan pengukuran individu. Menurutnya, potensi individu akan berhasil muncul dalam bentuk kompetensi, hanya bila ada ekosistem yang mendukung. Ia berujar, tidak ada seorang pendidik pun yang bisa belajar sendirian, kompeten sendirian dan merdeka belajar sendirian.

"Bukan sembarang guru yang dibutuhkan untuk reformasi pendidikan, tapi guru 'yang merdeka belajar'," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement