Sabtu 19 May 2018 19:09 WIB

Masyarakat Harus Cerdas Beragama

Cerdas beragama akan menjauhkan dari terorisme dan kegiatan politik berkedok agama.

Ilustrasi aksi solidaritas terkait aksi tragedi teror bom.
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Ilustrasi aksi solidaritas terkait aksi tragedi teror bom.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Profesor Purwo Santoso mengatakan masyarakat harus cerdas dalam beragama. Dengan demikian, masyarakat mampu menyentuh tujuan atau intisari agama serta tidak terjebak pada terorisme atau kegiatan politik berkedok agama.

"Praktik mengatasnamakan agama sudah sangat populer, bisa larinya ke terorisme dan perebutan kekuasaan," kata Purwo di Yogyakarta, Sabtu (19/5).

Menurut Purwo, praktik teror bom di Surabaya yang melibatkan satu keluarga beberapa waktu lalu merupakan salah satu contoh ketidakcerdasan dalam beragama. Karena itu, menurut dia, kecerdasaran dalam beragama perlu ditanamkan mulai dari lingkungan keluarga.

Cerdas dalam beragama, katanya, akan memunculkan akhlak yang baik (ahlqul karimah), bukan justru mengajak pada kesesatan atau kehancuran. "Dalam hal ini, ibu sebagai 'madrasah pertama' bagi anak memiliki peranan yang sangat penting," kata Purwo yang juga Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Islam, kata Purwo, merupakan agama yang membawa ajaran perdamaian dan keselamatan. Sebaliknya, membawa kehancuran maka itu dipastikan bukan ajaran Islam.

Menurut dia, ketidakcerdasan para teroris atau kaum radikalis dalam beragama juga diperlihatkan dengan keberaniannya mengatasnamakan Tuhan atas berbagai teror atau kekerasan yang diperbuat. "Mereka menyalahkan orang lain, seolah dialah yang paling benar, dan seolah dialah pemilik surga. Ini 'kan sudah bermain Tuhan, menyetarakan dirinya dengan Tuhan," kata dia.

Agar masyarakat cerdas dalam beragama, menurut Purwo, perlu didukung oleh sistem pendidikan yang memiliki orientasi pada aspek spiritualitas, bukan sekadar pada pengetahuan atau nilai akademis semata. Namun, sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum optimal menyentuh aspek spiritualitas.

Menurut dia, hingga saat ini belum ada sistem yang mampu mendefinisikan secara tepat berapa nilai spiritualitas atau kelakuan atau budi pekerti siswa. Dengan demikian, hasil dari pendidikan kegamaan cukup dikonversikan sekadar menjadi angka-angka.

"Seolah-olah kalau angkanya 9 itu pasti akhlaknya baik, padahal angka 9 itu bisa cerdik untuk menghakimi orang atau mengafirkan orang lain. Inilah sistem besar yang sebetulnya perlu dievaluasi," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement