Kamis 22 Mar 2018 21:57 WIB

Menristekdikti Dorong Reformasi Sektor Administrasi Publik

Negara-negara berkembang saling mengadopsi model administrasi publik

Rep: Eric Iskandarsjah Z/ Red: Esthi Maharani
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir / Ilustrasi
Foto: Republika/Eric Iskandarsjah Z
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir / Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  SLEMAN -- Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir secara resmi membuka Annual Conference of Asian Association for Public Administration (AAPA) 2018 di Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kamis (23/3). Acara ini mengangkat tema Reinventing Public Administration in a Globalized World : A Non Western Perspective.

Sejalan dengan tema tersebut, Menristekdikti mendukung AAPA untuk melakukan reformasi di sektor administrasi publik. Selama ini negara-negara berkembang biasanya mengadopsi model administrasi publik dari negara berkembang lainnya. Bagaimana mereka mengelola pelayanan publik mengadopsi dari sistem birokrasi di negara barat.

"Standar birokrasi seharusnya dapat lebih fleksibel dan tidak terlalu kaku. Kita harus berpikir out of the box dan melakukan benchmarking terhadap negara-negara maju yang telah menerapkan model administrasi publik di lingkup revolusi industri 4.0 dan society 5.0," kata Nasir.

Terlebih, memasuki era revolusi industri 4.0, banyak negara yang telah mengimplementasikan Society 5.0 yang menekankan pada iptek dan inovasi untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/

Sustainability Development Goals (SDGs). Ia menilai, administrasi publik memiliki peran penting dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs.

"Untuk itu efektivitas dari peran administrasi publik di masing-masing negara berkembang sekarang ini harus diperhitungkan," ujarnya.

Senada dengan Menristekdikti, Rektor UGM Panut Mulyono mengatakan bahwa selama ini Indonesia telah banyak mempelajari kebijakan dan strategi dari negara barat. Namun sayangnya tidak semuanya dapat diterapkan di Indonesia karena perbedaan sosial budaya.

"Untuk itu sekarang saatnya kita membangun kebijakan merujuk pada kapasitas dan potensi kita sendiri," ujar Panut.

Sebelumnya, pada tahun 2016, negara-negara di seluruh dunia sepakat untuk mengimplementasikan 17 tujuan/SDGs. Sampai di tahun 2030, masing-masing negara harus mewujudkan tujuan tersebut melalui berbagai program untuk menangani berbagai isu sesuai yang ditetapkan dalam SDGs.

Adapun 17 SDGs tersebut antara lain kemiskinan dan kelaparan, perubahan iklim, energi, konsumsi, sumber daya kelautan, ketidakadilan, pertumbuhan ekonomi, ekosistem dan lingkungan, perdamaian and hukum, permukiman manusia, pengelolaan air, pendidikan untuk pengembangan berkelanjutan dan lifelong learning, keamanan makanan, kesetaraan gender, keberlanjutan industri, kesehatan yang baik dan kesejahteraan, lembaga yang akuntabel dan kerjasama global untuk pengembangan berkelanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement