Jumat 09 Mar 2018 13:41 WIB

Ratusan Apoteker UII Ikrarkan Sumpah Profesi

Sebanyak 103 lulusan menjalani sumpah profesi.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Esthi Maharani
Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Foto: uii.ac.id
Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID,  SLEMAN -- Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar sumpah profesi angkatan XXX 2017/2018. Kali ini, sebanyak 103 lulusan menjalani sumpah profesi.

Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia, Wimbuh Dumadi mengatakan, terdapat tiga hal yang berkaitan mengenai profesi apoteker. Pertama, profesi apoteker mempunyai sistem nilai yang akan melahirkan etika profesi apoteker dan sistem otonom melahirkan standar profesi.

"Standar pelayanan profesi apoteker ini digunakan sebagai pedoman dan pemberi arah praktif kefarmasian," kata Wimbuh di Auditorium Abdul Kahar Muzakkir Kampus Terpadu UII.

Kedua, lanjut Wimbuh, kewenangan tenaga kefarmasian yang meliputi pembuatan, termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat. Ada pula pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi dan pengembangan obat.

Terakhir, apoteker baru diminta bertanggung jawab dan jadi agen perubahan, jadi apoteker yang profesional. Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti.

"Pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan armasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien," ujar Wimbuh.

Perwakilan Komite Farmasi Nasional, Purwadi menyampaikan, dampak dari globalisasi adalah mudahnya melakukan hubungan dengan orang yang berasal dari belahan dunia manapun. Hal itu tentu menjadikan kita semakin rentan terhadap ancaman kesehatan.

Menurut Purwadi, salah satu ancaman kesehatan global di antaranya resistensi antimikroba yang terjadi akibat penggunaan antimikroba yang tidak tepat kepad amanusia. Semisal, peresapan yang berlebihan atau tidak tepat indikasi.

"Ada pula dosis, peresapan antibiotic untuk penyakit non-infeksi bacterial serta pasien tidak patuh atau tidak menyelesaikan terapi," kata Purwadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement