Senin 21 Aug 2017 23:06 WIB

Tiga Masalah Mendasar Industri Kreatif Menurut Ekonom UGM

 Pengunjung mengamati hasil karya industri kreatif lampu boneka daur ulang limbah kayu dalam acara Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) 2012 di Epicentrum Kuningan, Jakarta, Rabu (21/11). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Pengunjung mengamati hasil karya industri kreatif lampu boneka daur ulang limbah kayu dalam acara Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) 2012 di Epicentrum Kuningan, Jakarta, Rabu (21/11). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Mudrajad Kuncoro menyatakan industri kreatif mempunyai tiga masalah mendasar dalam proses perkembangannya, yaitu modal, pasar, dan bahan baku.

"Kalau dilihat sebetulnya industri kreatif di Jawa Tengah terutama Solo raya, potensinya sangat besar. Hanya problemnya bagaimana agar pemain mayoritas industri kreatif tersebut, yaitu UKM bisa dibantu mengatasi tiga masalah mendasar tersebut," katanya di Solo, Senin (21/8).

Ia mengatakan dalam hal ini persyaratan usaha harus bisa menguntungkan pelaku industri khususnya skala kecil dan mikro. "Untuk bisa mengatasi hal ini, salah satunya pelaku industri kreatif harus memiliki hubungan kemitraan dengan industri skala menengah dan besar," katanya.

Terkait hal itu, dikatakannya, sejauh ini pelaku industri kreatif skala kecil di Indonesia yang memiliki hubungan kemitraan dengan industri menengah atau besar hanya 6-10 persen dari total industri kecil dan mikro yang ada. "Bagaimanapun juga, industri kreatif skala kecil dan mikro merupakan bagian integral bagi pengusaha menengah dan besar di negeri ini. Dengan begitu industri skala kecil tidak jadi kecil terus atau mikro terus," katanya.

Sementara itu, peran dari mitra kerja dalam hal ini akademisi, pelaku bisnis, pemerintah, dan masyarakat harus bisa dijalin. "Pada dasarnya industri kreatiflah yang bisa mendorong ekonomi Jateng, maupun mempercepat pembangunan daerah atau kabupaten yang masih tertinggal," katanya.

Selain itu, dikatakannya, perbaikan iklim investasi di daerah salah satunya upah minimum regional (UMR) harus diprioritaskan. "Saat ini hampir semua daerah berlomba-lomba menaikkan upah tenaga kerja antara 8-22 persen. Terkait hal ini saya sudah usul ke menteri tenaga kerja dan asosiasi, mungkin atau tidak upah dijadikan fix 2-3 tahun," katanya.

Upaya lain adalah penentuan UMR bukan berdasarkan wilayah tetapi berdasarkan industri. Mengenai hal itu, Kota Batam sudah menerapkannya. "Di sana upah yang paling tinggi di industri galangan kapal," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement