Jumat 29 Jul 2016 21:12 WIB

Tantangan Besar Mengendalikan Tuberkulosis

Rep: Binti Sholikah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Tuberkulosis
Foto: Reuters
Tuberkulosis

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Tuberkolusis saat ini masih menjadi masalah penyakit infeksi yang memberikan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Angka kematian penderita penyakit Tuberkulosis (TB) berada di urutan ketiga di Indonesia.

Wakil Dekan III Fakultas Kedokteran Unair, Ni Made Mertaniasih, mengatakan saat ini TB masih menjadi masalah global dalam bidang kesehatan di seluruh dunia. Sebab, penyakit ini sangat berkaitan dengan kesakitan, morbiditas dan kematian pada produktivitas kerja.  

Made menjelaskan, TB adalah infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman bakteri Mycobacterium tubeculosis complex, memiliki karakter menyerang dan merusak terutama jaringan organ paru, dan dapat menyebar ke organ lain seperti selaput otak, tulang, kelenjar limpa, dan lainnya.  

“TB ini tidak hanya menyerang organ paru sebagai pusat pernapasan, tapi juga ancaman penyakit penyerta atau komorbit HIV-AIDS, diabetes, dan meningkatnya kuman obat kebal (multi-drug resistance/MDR),” kata Made dalam konferensi pers di kampus A Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (29/7).

Menurutnya, TB MDR menjadi salah satu berier utama dalam melaksanakan program pengendalian TB tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat global, saat ini Indonesia berada di peringkat ke-8 dari 27 negara dengan TB MDR terbanyak di dunia. Pasien TB MDR di Indonesia diperkirakan sebanyak 6.900 kasus.

Program pengobatan TB MDR di Indonesia sudah diterapkan di Indonesia di dua rumah sakit yakni RSUD Dr Soetomo Surabaya dan RS Persahabatan Jakarta sejak 2009, kemudian 2010 dikembangkan ke berbagai rumah sakit di daerah lain.

“Masih banyak tantangan yang dihadapi, seperti penerapan program TB MDR ke berbagai rumah sakit masih lambat, masalah diagnosis yang cepat, adanya gap pasien yang terdiagnosis TB MDR dan yang mendapat pengobatan, masa pengobatan yang lama, efek samping yang lebih banyak, putus berobat dan komitmen berbagai pihak yang belum memadai membuat kasus penularan TB MDR makin bertambah banyak, akibatnya tercipta kasus-kasus baru TB MDR,” ungkap Spesialis TB Unair tersebut.

Salah satu langkah yang dilakukan Unair melalui seminar internasional Global Strategy to Combat Emerging Infectious Diseases in Borderless Era (GSEID 2016) di Surabaya pada 8-9 Agustus 2016. Ketua Panitia GSEID 2016, Soedarsono, menjelaskan, penyelenggaraan seminar ini menjadi ekspresi Unair untuk membicarakan penyakit tropis terutama infeksi. GSEID 2016 ini bertujuan sharing ilmiah untuk menghasilkan pemikiran berupa penelitian, konsep, prosedur, metode, bio produk untuk perbaikan pendidikan dan hilirisasi produk bagi masyarakat.

Spesialis Paru RSUD Dr Soetomo tersebut menjelaskan, Indonesia sudah 20 tahun melakukan pemberantasan TB, namun penyakit ini tak kunjung padam. Sehingga, programnya yang dulu bernama pemberantasan kini diubah menjadi pengendalian. “Angka kematiannya masih sangat tinggi. Targetnya 2050 zero TB, bukan nol sama sekali tapi perbandingannya 1: 1.000.000 penduduk, pada 2035 sudah dimulai,” ujar Soedarsono.

GSEID 2016 akan menghadirkan beberapa pembicara dari luar negeri, antara lain Jepang, Belanda, dan AS. Mereka merupakan pakar di bidang genetika, kesehatan masyarakat, penyakit virus, dan lain-lain. “Unair juga akan mempresentasikan produk-produk yang dihasilkan. Seminar ini untuk meng-update ilmu-ilmu yang baru terutama hasil penelitian terbaru,” jelasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement