Thursday, 16 Syawwal 1445 / 25 April 2024

Thursday, 16 Syawwal 1445 / 25 April 2024

Indonesia Dihantui Islamofobia dan Indonesiafobia

Kamis 21 Dec 2017 21:54 WIB

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Karta Raharja Ucu

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (tengah) saat melakukan sosialisasi empat pilar di Yayasan Alfida, Bengkulu, Kamis (21/12).

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (tengah) saat melakukan sosialisasi empat pilar di Yayasan Alfida, Bengkulu, Kamis (21/12).

Foto: Rahma Sulistya/ Republika

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengaku mengkhawatirkan Islamofobia dan Indonesiafobia yang menjangkiti masyarakat. Pasalnya, dua kondisi itu menjadi momok tersendiri dan masyarakat harus bergandengan bersama.

Ia berkata, jika diukur dengan umat Islam-nya, maka Indonesia bisa dilihat keberagamaannya, ini karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. "Jadi kalau ukurannya dengan Islam, belakangan ini saya menemukan dua kondisi, pertama masih adanya Islamofobia, dan kedua masih adanya Indonesiafobia," jelas HNW dalam acara sosialisasi empat pilar MPR RI di Bengkulu, Kamis (21/12).

Terkait Islamophobia, HNW berkata, saat ini umat Islam selalu dituduhkan anti-NKRI, bahkan takbir diidentikkan dengan terorisme, berjenggot juga diidentikkan teroris. Padahal, banyak pemuka agama Islam yang berjenggot dan justru mendirikan Indonesia.

Kemudian Indonesiafobia, ada yang mengira Indonesia itu seolah baru saja ada di bumi ini. Sehingga, semua dikafirkan, demokrasi dianggap kafir, republik dianggap kafir, pemilu dianggap kafir, pilkada dianggap kafir. Mengapa kafir? Karena orang-orang Indonesiafobia mengatakan itu merupakan sistem dari Barat.

"Padahal saya sering bertanya balik, kalau semua sistem dari Barat itu kafir, antum sekolah dari mana? SD, SMP, SMA, perguruan tinggi kan? Pertanyaan saya, memang sistem sekolah berjenjang gitu ada dalam Alquran dan hadits? Tidak ada. Dari mana sistem sekolah berjenjang itu? Dari Barat. Apa nggak kafir? Kita lihat dulu konteksnya," ucap Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu.

Bagi dia, tidak semua yang berasal dari Barat adalah kafir. Kafir bisa datang dari Barat maupun Timur, yang namanya kafir itu tidak ada urusannya dengan Barat. Masyarakat bisa lihat dari kontennya saja, kalau misal sekolah berjenjang itu mengajarkan LGBT, ya kafir. Tapi kalau sekolah itu mengajarkan untuk jauhkan yang munkar, ya halal.

"Sama juga politik. Kalau misal demokrasi dan sebagainya untuk halalkan yang haram atau sepakat buat UU narkoba agar halal, ya itu nggak bener. Tapi kalau dengan demokrasi bisa hadirkan pemimpin yang baik, misal pemimpin seperti Pak Anies yang bisa langsung tutup Alexis dan ungkap praktek narkoba di tempat hiburan, itu pastinya halal," papar HNW.

Lebih lanjut, HNW juga mengatakan orang-orang Indonesiafobia menganggap demokrasi dan lainnya itu merupakan bid'ah. Semua yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW dianggap bid'ah. "Memang betul beberapa hal yang tidak ada pada zaman Rasulallah SAW dianggap bid'ah, tetapi apakah serta merta yang tidak ada pada zaman itu bid'ah?"

HNW memberikan contoh soal nasi. Saat ini masyarakat Indonesia sebagian besar makan nasi, dimana nasi itu tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Namun, nasi itu tidak dianggap bid'ah. Menurut dia, demokrasi dan lainnya itu masuknya mubah. Tapi jika itu bisa dipergunakan untuk ma'aruf dan cegah munkar, bisa masuk wajib.

Jadi dua kondisi, di mana Islamophobia masyarakatnya selalu menuduh Islam adalah teroris, dan Indonesiafobia masyarkatnya selalu menuduh selain Islam adalah kafir, keduanya merupakan hal yang tidak diperlukan. Masyarakat Indonesia harus mulai bisa mengambil jalan tengah, dengan mengenal empat pilar dalam konteks Indonesia dan Islam.

Empat pilar yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI harus dijunjung. "Karena NKRI warisan jihad dan istihad yang ada dari para ulama. Memang tokoh-tokoh Islam terlibat langsung dalam pembangunan Indonesia, dari NU maupun Muhammadiyah," jelas HNW.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler