Rabu 02 Nov 2016 11:00 WIB

Yuliandre Darwis, Ketua KPI: Fokus Awasi Konten Pornografi dan LGBT

Red:

Ekspektasi masyarakat dengan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada era penyiaran saat ini cukup besar. Pasalnya, pada era keterbukaan informasi yang begitu pesatnya, lembaga penyiaran menjadi salah satu bagian di dalamnya yang patut diawasi.

Tetapi, apakah KPI telah memenuhi ekspektasi tersebut? Tentu hal ini harus dilihat secara menyeluruh.

Jika melihat dari kepuasan publik terhadap kinerja KPI, ada beberapa pihak yang menilai KPI sudah sejalan dengan fungsinya

Namun, tidak sedikit juga yang menilai peran KPI tidak berkontribusi besar dalam menjaga moral penyiaran. Pasalnya, masih banyak lembaga penyiaran yang tidak menaati peraturan dalam penyiaran. Sehingga, peran KPI dalam menata lembaga penyiaran pun dinilai belum maksimal.

Lantas bagaimana penilaian KPI terkait hal ini? Berikut kutipan wawancara wartawan Republika, Fauziah Mursid, dengan Ketua KPI periode 2016-2019 Yuliandre Darwis

Kewenangan KPI saat ini dinilai belum "garang" di hadapan industri?

Kalau dibilang kurang garang, itu saya pikir itu persepsi. Karena selama ini KPI disebut seperti kurang buat sesuatu, tapi perlu diketahui kami ini kerjaannya bukan seperti KPU atau KPK. Kalau KPU kan contoh, terlihat pelaksanaannya sukses atau tidak. Begitu pun KPK dari hasil penindakannya.

Nah, kalau KPI menilai suksesnya seperti apa? Sedangkan, real time permasalahannya yang ditindak. Setiap detik itu tentu ada masalah. Nah, prioritas mana yang didahulukan itu tentu dengan cara-cara yang lebih bijak.

Lalu kalau KPI, kerjanya itu eksekutif juga dikerjain karena dia menjadi lembaga penyiaran pemerintah, jadi regulatif juga iya, regulatifnya tidak seperti KPK yang hanya tangkap lalu serahkan ke pengadilan.

Nah, kalau KPI regulatif, mulai dari tegur, diberikan sanksi. Lalu ukuran sanksi hukumnya juga KPI. Lalu terakhir fungsi yudikatif, merepresentasikan ke publik harus ada pembinaan juga ke lembaga penyiaran.

Lalu pengawasan dan sanksi selama ini cukup membuat efek jera?

Jika kami disebut kurang garang. Ada tiba-tiba tayangan TV, atlet renang diblur. Beredar viral di-bully habis-habisan KPI. KPI disebut bikin paranoid. Nah, itu membuktikan, ternyata bukan nggak garang. Malah takut duluan, belum apa-apa sudah dikritik.

Sebenarnya KPI ini menjalankan apa yang ada di UU. Karena UU 32/2002 itu KPI itu tugasnya, pertama, bagaimana masyarakat mendapat hak informasi yang baik dan benar. Kedua, menjaga tahanan infomasi yang adil dan merata. Ketiga, bagaimana yang namanya iklim bisnis tidak terjadi monopoli, iklim yang baik. Nah, keempat, membantu mengatur infrastruktur penyiaran.

Lalu sekarang lagi ramai digital. Lalu yang kelima mengamati, meneliti, memberi teguran, sanksi, dan apresiasi kepada seluruh lembaga penyiaran. Dan, keenam membantu membentuk sumber daya manusia lembaga penyiaran.

Nah, kalau kami tindak, krunya bisa di-reshuffle hari itu juga, bisa diganti langsung. Tapi, produksinya tetap jalan. Nah, ini yang terjadi. Itu yang terjadi permasalahan di kita.

Lalu dalam pengawasan lebih fokus apa saja yang diawasi?

Pornografi dan LGBT ini beberapa kasus yang kita tangani. Ini data riil bagaimana kasus LGBT yang kita perjuangkan kemarin. Sikap ini sudah sejak lama sebenarnya, dua tahun belakangan ini karena fenomenanya fluktuatif. KPI sudah memberikan warning berupa imbauan, peringatan, surat edaran sejak 18 Oktober 2013. KPI minta stasiun TV tidak menampilkan talent pria yang berpakaian dan berperilaku perempuan dan sebaliknya.

Lalu pada 21 Maret 2014 KPI juga mengeluarkan surat edaran yang sama, jangan pria berperilaku wanita di TV juga tanggal 23 Juni 2014. Juga yang agak heboh itu tanggal 23 Februari 2016. Itu KPI juga keluarkan surat edaran dengan beberapa indikator dan tujuh item di situ yang mengundang pro dan kontra luar biasa.

Fenomena itu cukup kuat, termasuk pada 2016, sehingga KPI mau nggak mau harus bersikap untuk jaga ruang publik ini jangan sampai kemudian diisi konten-konten seperti itu. Titik tekan KPI itu tidak melakukan promosi dan propaganda terkait LGBT dan pornografi.

Karena jelas sekali beberapa aturan KPI yang jadi dasar hukum untuk menindak itu ada di UU penyiaran dan P3SPS.

Ada sanksi yang diberikan?

KPI tetap berjalan sesuai dengan aturan untuk pemberian sanksi. Ada tiga tahapan yang dilakukan oleh KPI. Pertama, melakukan pencegahan berupa surat edaran, imbauan, peringatan. Edaran sudah dilakukan KPI. Di sana titik tekannya, edaran itu ke seluruh 15 stasiun TV.

Lalu pembinaannya untuk menyamakan persepsi berdasarkan regulasi yang ada, KPI juga harus menjatuhkan sanksi jika memang bersalah.

Dari mulai teguran tertulis pertama, teguran tertulis kedua, penghentian sementara, dan pembatasan durasi.

Ini yang kemudian dianggap tidak memiliki efek jera?

Ya itu persepsi masyarakat, persepsi publik terhadap lembaga ini, tapi kan KPI juga punya aturan main untuk berikan sanksi, tidak semena-mena langsung menghentikan sementara.

Ada tahapan-tahapan sesuai pemantauan KPI, kemudian dianalisis, lalu kemudian dibawa sidang isi siaran. Lalu diputuskan ini jatuhnya di level peringatan, ada teguran, bergantung pada bobotnya.

Apa semua lembaga penyiaran mengikuti?

Setelah KPI mengeluarkan surat edaran 23 Februari 2016 itu, efek di layar kaca itu ada. Presenter di stasiun TV tidak lagi menampilkan laki-laki berperilaku perempuan, berubah sedikit-sedikit. Artinya, apa yang dilakukan KPI memberikan perubahan. Ada efeknya, terasa. Dan itu butuh dukungan masyarakat karena KPI nggak bisa bekerja sendiri.

Acara apa yang paling banyak yang disanksi?

(Acara) yang paling banyak mendapat perhatian itu sinetron dan infotainment.

Kalau untuk sanksi berasal dari pengawasan pengaduan atau pemantauan?

Lebih banyak dari pemantauan langsung karena kan ini realtime 24 jam, tetapi KPI juga berusaha untuk memverifikasi data dari hasil pengaduan. Tim pemantauan juga memberikan laporan. Mereka sering berdiskusi dan membandingkan data, karena misal ada pengaduan tinggi, itu biasanya dilihat di tayangan juga ada pelanggaran.

Bagaimana partisipasi masyarakat lewat pengaduan? Sudah pedulikah masyarakat terhadap tayangan tak bermutu?

Tentu ya jumlahnya sesuai yang diterima tim pengaduan itu dan biasanya dari umum.

Tindak lanjut pengaduan?

Kalau ada pengaduan dari masyarakat, kemudian nanti ditangani bagian pengaduan, apakah lewat e-mail, Facebook, telepon langsung, bawa surat, akan dilakukan dan diolah oleh pengaduan, apakah benar dari siapa tentang apa lalu diverifikasi, lebih kuat lagi jika pengaduan ini di-compare dengan data hasil pemantauan. Ada buktinya. Nah, biasanya penyikapannya bisa lebih cepat.

Untuk pilkada, yang dilakukan KPI agar penyiaran jangan seperti pilpres lalu?

UU menyatakan bahwa iklan itu ada dua. Iklan komersial dan layanan masyarakat. Tidak ada namanya iklan politik. Oleh sebab itu, definisi politik ini muncul dari KPU.

Nah, KPI dan KPU bekerja sama ketika dunia siaran itu dibentuk jadi sebuah citra politik. Kita pasti akan tanya ke KPU benarkah apakah ini kegiatan politik. Makanya ini yang terminologi lebih luas. Kami kerja sama duduk bareng dengan KPU dan Bawaslu.

Ke depan, apa dan bagaimana tantangan digitalisasi televisi?

Jadi, TV jaringan itu ada 15 sekarang, 11 TV nasional yang memiliki jaringan. TV nasional kita itu terbanyak di dunia.

Apa yang terjadi kalau digital semua akan V to R? Saluran akan ada macam-macam TV. Semua akan serentak dan semua jadi digital, dan serentak senasional.

Nah, gimana ngawasinnya? Bayangkan, iklannya di TV sebanyak ini, TV-nya banyak, bangkrut nggak TV-TV ini? Hukum alam akan berlaku. Yang terjadi saat ini orang ajukan digital harus siap infrastruktur dan pengalaman dunia penyiaran. Ini yang jadi konsekuensi ketika saluran digital dicoba biding lagi oleh negara, dalam hal ini pemerintah.

Perpindahan dari analog ke digiltal. Konsekuensi digital TV dari segi kualitas dan kejernihan. Tapi, masyarakat di daerah tentu tidak bisa menikmati jika tidak memiliki perangkat yang sesuai

Target paling dekat?

Targetnya itu mempercepat yang namanya fungsi kewenangan KPI ini lebih kuat, agar UU penyiarannya segera kita ketuk palu sehingga kekuatan KPI bukan hanya untuk industri konvensional, melainkan juga TV yang dianggap digital karena digital nggak masuk UU. Sehingga, kita bisa awasi.

Ke depan, harus dibenahi segera karena UU itu tidak seimbang dengan yang namanya perkembangan dan fenomena di masyarakat.

Kelemahan itu kita mau perkuat. Hal yang ditekankan di UU penyiaran kewenangan KPI diperkuat, lalu antisipasi segala persoalan seperti iklan politik dan siaran politik itu ya jadi permasalahan.

Lalu ya namanya iklan layanan masyarakat harus ada karena UU mengamanatinya. Dari 20 persen iklan komersial, 10 persennya harus iklan layanan masyarakat, tapi yang terjadi itu nggak ada. Adanya justru di jam satu malam.     ed: Hafidz Muftisany

***

Ada Izin Ada Komitmen

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah memperpanjang izin siaran 10 TV swasta untuk 10 tahun ke depan. Ketua KPI Yuliandre Darwis menyebut, perpanjangan izin televisi swasta memang tanggung jawab dua belah pihak. KPI berfungsi memberikan rekomendasi kelayakan dan Kemenkominfo memberikan izin administrasi.

"Tapi, dua-duanya harus duduk bareng untuk nyatakan ini lolos, melalui forum rapat bersama," ujar Yuliandre.

Yuliandre mengakui, perpanjangan izin televisi swasta yang lalu sempat bermasalah. Ada keinginan untuk melibatkan publik soal perpanjangan izin ini. Tetapi, pihak industri mempertanyakan wacana tersebut. "Kemarin sempat bermasalah. Itu soal publik diberi ruang, dan industri mempertanyakan publik mana yang menjadi perwakilan," ujar dia.

KPI di bawah kepemimpinannya pun menyodorkan surat komitmen yang harus dipatuhi televisi swasta jika diperpanjang izinnya.

Pertama, sanggup melaksanakan seluruh ketentuan yang terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dan Kebijakan KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, sanggup untuk menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial dalam rangka membangun karakter bangsa.

Ketiga, sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan isi siaran program jurnalistik serta tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal ataupun internal, termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran.

Keempat, sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum baik pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif tingkat daerah dan pusat, maupun pemilihan presiden dan wakil presiden.

Kelima, sanggup melaksanakan penayangan yang menghormati ranah privat dan pro justicia yang mengedepankan asas praduga tak bersalah secara proporsional dan profesional

Keenam, sanggup untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, antara lain berupa penggunaan bahasa isyarat dalam program siaran berita.

Ketujuh, bersedia untuk dilakukan evaluasi setiap tahun terhadap seluruh pelaksanaan komitmen dan bersedia untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan evaluasi sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.

Yuliandre mengingatkan bahwa KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah menyiapkan perangkat hukum serta mekanisme evaluasi tahunan terhadap penyelenggaraan penyiaran.

Yuliandre juga meminta agar fungsi penyiaran sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial dapat dilaksanakan secara seimbang.

"Jangan sampai televisi didominasi oleh hiburan semata dan mengesampingkan peran-peran lain penting dalam menjaga harmoni dalam kehidupan masyarakat," ujarnya.

Yuliandre menegaskan, lembaga penyiaran harus menjaga independensi dan netralitasnya dalam agenda kontestasi politik, baik tingkat nasional maupun lokal. Selain, lanjut dia, tentu saja menjaga frekuensi yang dipinjamkan negara ini semata-mata untuk kepentingan publik.

"Kami berharap, tidak ada lagi blocking time dengan durasi yang tidak wajar untuk menyorot kehidupan pribadi artis atau figur publik yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik," kata Yuliandre.

Menurutnya, perpanjangan izin TV swasta ini juga tidak mudah dan harus melalui proses yang sangat panjang. Di mana proses tersebut dilakukan secara objektif.      Oleh Fauziah Mursid, ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement