Senin 08 Sep 2014 12:00 WIB

Pertimbangkan Kesiapan Publik

Red:

JAKARTA -- Pengamat tata kota Yayat Supriatna menyatakan, sistem smart city yang hendak dibangun dan dikembangkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus mempertimbangkan efektivitas layanan dan kesiapan publik.

"Efektivitas layanan dan kesiapan publik harus menjadi pertimbangan utama Pemprov DKI Jakarta sebelum menerapkan konsep smart city, seperti e-money," tutur Yayat saat dihubungi Republika, Ahad (7/9).

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/Prayogi

Seorang pegawai menunjukkan model layanan uang elektronik (E-Money) berbentuk kartu dari Bank Mandiri, di Jakarta, Selasa (51/7).

Tak hanya itu, Pemprov DKI, lanjut Yayat, juga harus mempersiapkan sistem pelayanan publik yang terintegrasi dan efektif. Misalnya, bagaimana hanya dengan satu kartu, masyarakat dapat menggunakan berbagai jenis transportasi umum atau dapat membayar tagihan listrik dan telpon.

Dia mencontohkan, di Singapura hanya dengan satu kartu dapat digunakan publik untuk membeli makanan, menonton bioskop, mengakses transportasi publik, serta membayar listrik, telepon, dan pajak atau keperluan lainnya.

Untuk hal ini saja, Yayat menilai, sistem pelayanan publik di Jakarta saat ini saja belum terintegrasi dengan baik. Misalnya, kartu e-money untuk kereta api dengan bus Transjakarta saja berbeda. Bahkan, kartu e-toll berbeda-beda antartol yang pengelolanya berbeda di Jakarta.

Kartu-kartu itu, kata dia, tidak bisa digunakan untuk membeli makanan atau menikmati bioskop di mal, apalagi untuk membayar tagihan lsitruk dan telepon. "Sebelum menerapkan konsep smart city untuk kota-kota satelit, seperti Depok, Bekasi, Tangerang, dan Bogor, Jakarta harus menjadi pilot project (contoh) dahulu," ungkap Yayat.

Tanpa kesiapan publik dan sistem layanan publik yang efektif terintegrasi, papar Yayat, mustahil konsep smart city dapat diterapkan di Ibu Kota Jakarta, apalagi di kota-kota satelitnya.

Kota satelit

Untuk mewujudkan konsep smart city yang dicanangkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor mengawalinya dengan menerapkan sistem pembayaran dan pelaporan pajak secara online. Menurut Kepala Dispenda Kota Bogor, Denny Mulyadi, sistem ini untuk mempermudah masyarakat dalam membayar pajak.

"Sebenarnya, program ini sudah berjalan sejak 18 Agustus, namun baru di-launching pada Rabu (3/9)," ujarnya, akhir pekan lalu. Dengan begitu, kata dia, masyarakat tidak perlu lagi repot antre di loket atau bank karena pembayaran pajak, tapi warga hanya perlu mengakses website HYPERLINK "http:e-sptpd.kotabogor.go.id"e-sptpd.kotabogor.go.id melalui jaringan internet di laptop atau handphone dengan mobile banking Bank Jabar Banten (BJB) di seluruh Indonesia.

"Sepengetahuan saya, Kota Bogor menjadi kota pertama yang menerapkan pembayaran pajak online yang sudah terintegrasi dengan bank," sambungnya. Meski begitu, Denny tak memungkiri jika masih terdapat beberapa kendala dalam penerapan pembayaran pajak online tersebut.

Sementara itu, Depok mengawali menuju smart city dengan didirikannya Rumah Komunitas Depok. Pendirinya, Emil Dardak, mengatakan, "Inti dari smart city adalah pelayanan dan infrastuktur kota terkoneksikan dalam jaringan internet. Tapi, jika hanya teknologi dan infrastruktur dibangun, tapi tidak digunakan, maka menjadi tidak efektif," kata dia, beberapa waktu lalu.

Pendapat berbeda disampaikan pengamat perkotaan dari Universitas Indonesia Raden Yudhono. Ia berpendapat, Depok belum siap menjadi smart city. Menurut Yudhono, smart city membutuhkan sumber daya manusia yang sudah terampil dalam teknologi. 

Dibutuhkan waktu jangka panjang untuk mempersiapkan sebuah kota menjadi smart city. Dia menyebut untuk dapat menjalankan smart city, Kota Depok membutuhkan pemerintahan yang lebih baik dari yang sekarang. "Karena inti dari smart city adalah pelayanan satu atap maka birokrasi pun harus akrab dengan internet," tambahnya. rep:c57/c84/c74 ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement