Senin 30 Jun 2014 14:30 WIB

KJP dalam Sorotan

Red:

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membongkar borok KJP. Dari penelusuran, ditemukan 9.006 nama ganda penerima KJP. Kasus tersebut membuat DKI tekor Rp 13,34 miliar.

Temuan penerima KJP ganda membuat kinerja Jokowi menjadi sorotan. Pada Jumat (20/6), BPK melaporakan neraca keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2013 tekor hingga Rp 1,54 triliun. Angka didapat dari 86 temuan.

Nilai kerugian Rp 1,54 triliun didapat dari indikasi kerugian daerah senilai Rp 85,36 miliar, potensi kerugian daerah senilai Rp 1,33 triliun, kekurangan penerimaan daerah Rp 95,01 miliar, temuan tidak ekonomis, tidak efisien, dan tidak efektif (3E) senilai Rp 23,13 miliar.

"BPK memberikan pendapat wajar dengan pengecualian (WDP) atas laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta tahun 2013. Menurun dari opini yang diberikan dua tahun terakhir, yaitu wajar tanpa pengecualian (WTP)," ujar anggota V BPK RI Agung Firman Sampurna di gedung DPRD DKI, Jumat (20/6).

Republika mengklarifikasi hasil temuan penerima KJP ganda ke sekolah di Jakarta Pusat. SMK Negeri 54, salah satunya. Kepada kami, Kepala SMKN 54 Diding Wahyudin (41 tahun) meyakinkan tidak ada nama ganda dalam data yang dikirim sekolahnya.

"Kalau kita sih nggak ada nama ganda. Nggak tahu, kalau di sana (Pemprov DKI), urusan orang sana. Kita bukti fisiknya secara tertulis, nggak ada nama ganda. Jelas," ujar Diding sembari memperlihatkan data penerima KJP SMKN 54 kepada Republika, Rabu (25/6).

Ia tidak mengetahui pada bagian mana kesalahan tersebut terjadi. Menurutnya, yang penting sekolahnya tidak menyalahi aturan.

 "Saya nggak ngerti kesalahannya. Tapi, dari sekolah, dari SMKN 54, khususnya, tidak ada kesalahan, berdasarkan data yang saya kirim," ucap dia.

Pernyataan serupa disampaikan Kepala SMKN 27 Sri Nuryati (49). Perempuan yang biasa dipanggil Nuryati ini mengaku kesalahan nama ganda tersebut tidak terjadi di level sekolah.

"Kita kan nominasi namanya satu-satu. Kalau dobel kan kita juga otomatis ditolak di dinasnya saat pengajuan nama," kata Nuryati menjelaskan kepada Republika, Kamis (26/6).

Ia menduga kesalahan terjadi ketika pemasukan data dari sekolah di DKI Jakarta. "Kemungkinan ya, kita kurang tahu juga peng-input-an datanya bagaimana," katanya.

"Mungkin," kata dia melanjutkan, "karena copy-paste atau apa ya, kita nggak tahu juga."

Keterangan dari staf kesiswaan SMPN 4, Suprasetyo (50), memperkuat pernyataan dari Diding dan Nuryati. Ia mengatakan, kesalahan nama ganda tersebut bukan dari pihak sekolah. Tapi, menurutnya, meskipun ada siswa yang namanya ganda, siswa tersebut tetap menerima jatah untuk satu orang.

"Namanya memang yang masuk dua, tapi dapatnya cuma satu. Cuma namanya aja yang salah, di sana, salah ketik. Bukannya kita masukin dua," jelas Pras.

Pria yang biasa disapa Pras itu melanjutkan, "Kan bank itu teliti, masak satu orang bukunya dua. Nggak mungkin itu."

Kisruh KJP bukan hanya penerima ganda, melainkan banyak siswa yang orang tuanya tergolong mampu mendapat KJP yang bukan haknya. Didin mengatakan, kesalahan itu terjadi karena mudahnya siswa mendapatkan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari RT/RW.

"Berarti lurah setempat, RT-RW. Orang tua juga berani tanda tangan. Pake materai Rp 6.000 menyatakan bahwa 'saya miskin'," kata Diding.

Ia mengaku pihak sekolah memverifikasi kelengkapan persyaratan. Jika persyaratan lengkap, akan diproses. Survei dilakukan dengan bertanya kepada guru bimbingan dan konseling yang mengetahui keadaan siswa.

Diding berkata, lebih mudah jika KJP melalui sekolah terlebih dahulu. "Kita bisa menangani dari awal. Artinya, kita bisa ngubek sampe sini (survei langsung ke rumah). Kan, ini kita nggak sampe sini. Karena kita diminta agar sekolah ngumpulin ini, ngajuin, kan gitu. Yang nerima juga orang tua melalui buku rekening siswa. Kan kita nggak terima apa-apa, hanya laporan detail tertulis," jelas Diding.

Wakil Kesiswaan SMKN 27 Syahrir (48) mempunyai kewajiban menyelidiki kebenaran SKTM tersebut. Namun, untuk melakukan survei ke rumah siswa tidak semudah teori.

"Untuk 90 siswa (yang mengajukan KJP) dengan tempat tinggal yang menyebar di Jakarta, kita kerepotan. Kita survei. Kita percaya juga sama wali kelasnya," kata Syahrir, Selasa (24/6).

Guru TIK sekaligus Pembina OSIS SMPN 93, Dodo Soimin (41) membenarkan keterangan Diding dan Syahrir mengenai mudahnya mendapatkan SKTM.

Ditemui Republika, pada Senin (24/6), Dodo mengatakan pihak sekolah memproses otomatis yang mengajukan persyaratan. Namun, ia juga tidak bisa menyalahkan pihak RT sebagai lembaga yang dekat dan mengetahui keadaan warganya.

"Pengurus RT juga nggak bisa menghindar kalau misalnya ada warga yang minta. Dibatalkan juga nggak enak. Itulah permasalahannya semacam itu," kata Dodo.

Ia berharap akan ada perbaikan sistem, terutama dalam penyeleksian siswa. Jangan sampai ada kasus ditemukannya siswa yang mampu, tapi menerima KJP.

"Dari dinas atau dari mana ya, ada yang bilang kalau mau ngajuin, ajuin aja, kalau nggak malu. Tapi, kalau di Jakarta sih kayaknya udah nggak ada malulah. Yang penting dapat uang," ujarnya sambil tersenyum.

Menurutnya, lebih bagus jika sekolah ikut andil memeriksa kebenaran data yang dikumpulkan siswa. Dengan begitu, mereka mengetahui apakah siswa tersebut layak mendapatkan KJP.

"Kalau nggak layak ya nggak perlu diajuin. Paling nanti ada orang tua murid yang datang ke sekolah mencak-mencak, ‘kenapa saya nggak dapet, padahal udah ngajuin', gitu," kata Dodo mengenai rencana survei tersebut. rep:c82 ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement