Jumat 19 Aug 2016 15:00 WIB

Defisit Primer Sejak 2012

Red:

JAKARTA--Pemerintah sejak lama mengalami defisit primer dalam APBN. Kondisi tersebut sampai saat ini masih berlangsung, bahkan dalam RAPBN 2017 yang disampaikan Presiden Joko Widodo, defisit primer mencapai Rp 111,4 triliun.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, defisit primer menunjukkan bahwa selama ini pemerintah berutang, bukan untuk berinvestasi. Justru utang ini digunakan untuk menutup utang-utang pada masa lalu.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro, defisit primer meningkat sejak 2012. Ini disebabkan oleh dalam beberapa tahun bekalangan, penerimaan negara memang kurang baik, padahal dana yang dibutuhkan untuk pembangunan besar.

Untuk memenuhi kebutuhan ini, ungkap Bambang, pemerintah mencari pinjaman. ''Kita kan butuh pertumbuhan juga. Maka itu, defisit primer ini bisa naik," kata Bambang di kantor Bappenas, Jakarta, Kamis (18/8).

Data Kementerian Keuangan menyebutkan, keseimbangan primer sebenarnya sempat mengalami surplus pada 2010, mencapai Rp 41,5 triliun. Artinya, penerimaan negara saat itu lebih besar daripada belanja negara di luar pembayaran utang.

Saat itu, negara juga masih memiliki dana untuk membayar bunga utang. Pada 2011, keseimbangan primer masih mengalami surplus, tetapi nilainya berkurang drastis menjadi Rp 8,8 triliun. Pada 2012, barulah pemerintah merasakan defisit keseimbangan primer.

Tak tanggung-tanggung pemerintah mendapatkan defisit keseimbangan primer mencapai Rp 52,7 triliun. Defisit ini bertambah menjadi Rp 98,6 triliun pada 2013. Memasuki 2014, Pemerintah sempat menurunkan defisit di angka Rp 93,2 triliun.

Sayang, nilai ini kembali meningkat pada 2015 yang menyentuh Rp 142,4 triliun. Dengan nilai ini, pemerintah berarti tidak lagi memiliki kemampuan membayar bunga utang dari penerimaan negara. Pemerintah harus mencari utang guna membayar bunga utang.

Memasuki 2016, pemerintah kembali harus mengalami defisit keseimbangan primer mencapai Rp 105,5 triliun dalam APBNP 2016. Nilai defisit ini masih akan berlangsung pada 2017 dengan besaran Rp 111,4 triliun.

Bambang mengatakan, defisit primer bisa saja hilang menjadi nol atau malah kembali positif. Terdapat dua kunci, yaitu menurunkan anggaran belanja atau menaikkan penerimaan negara. ''Dengan kondisi seperti sekarang, satu-satunya jalan adalah meningkatkan penerimaan.''

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto mendesak agar APBN 2017 jangan digunakan untuk bancakan para elite. Mestinya, pemerintah memprioritaskan belanja fungsi atau mandatory spending yang berguna bagi masyarakat.

Ia menyatakan, anggaran untuk pendidikan turun dari Rp 143,262 triliun (11 persen) menjadi Rp 141,766 triliun (10,8 persen). Anggaran pertahanan juga turun dari Rp 109,003 triliun (8,3 persen) menjadi Rp 104,585 triliun (delapan persen).

Anggaran kesehatan pun turun dari Rp 66,069 triliun (5,1 persen) menjadi Rp 61,724 triliun (4,7 persen). Anggaran perumahan dan fasilitas umum turun dari Rp 34,34 triliun (2,6 persen) menjadi Rp 32,773 triliun (2,5 persen).

Dari hal tersebut, terlihat bahwa pemerintah tidak memprioritaskan mandatory spending atau kewajiban untuk rakyat yang diatur di undang-undang. Pemerintah beralasan melakukan penghematan anggaran.

"Tetapi, sayangnya, pemotongan dan penghematan anggaran belum transparan,'' kata Yenny, kemarin. Dalam hal defisit keuangan negara, walaupun turun Rp 40,1 triliun, dampaknya pemerintah akan tetap menutupinya dengan utang luar negeri sebesar Rp 273 triliun.

APBN masih akan bergantung pada asing. Dalam APBN 2016, pembiayaan utang sebesar Rp 330.884,8 miliar bersumber dari surat berharga negara Rp 327.224,4 miliar, pinjaman luar negeri Rp 398,2 miliar, dan pinjaman dalam negeri Rp 3.262,2 miliar.

Merespons hal tersebut, Yenny menyebut, Indonesia terus menganut rezim anggaran defisit dengan asumsi masih dapat terus berutang pada luar negeri. "Pemerintah harus melakukan penghematan agar tak bergantung pada asing," kata dia.     rep: Debbie Sutrisno, Qommarria Rostianti, ed: Ferry Kisihandi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement