Kamis 07 Jan 2016 17:00 WIB

Tantangan Berwujud Kredit Bermasalah

Red:

Selepas libur panjang Maulid Nabi Muhammad SAW, Natal 2015, dan Tahun Baru 2016, aktivitas perekonomian di sektor keuangan kembali berdenyut. Salah satu penandanya adalah pembukaan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang secara resmi dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada, Senin (4/1). 

Dalam sambutannya, Presiden menyampaikan bahwa pada 2015 merupakan tahun yang penuh tantangan, terutama di sektor keuangan. Hal ini disebabkan kekhawatiran melambatnya perekonomian global disertai kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (the Fed), yaitu Fed Funds Rate.

"Namun, mengikuti perjalanan 2015 kemarin, saya tetap optimistis pada 2016," ujar Presiden, seperti dilansir kantor berita Antara. Optimisme Presiden terhadap sektor keuangan dirasakan juga oleh kalangan perbankan. 

Buktinya, dari sisi perbankan, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), target kredit 2016 diproyeksikan tumbuh pada kisaran 12 hingga 14 persen. Proyeksi tersebut lebih tinggi dibandingkan perkiraan pertumbuhan kredit pada akhir 2015 yang berada di kisaran 11 persen. 

Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, proyeksi tersebut dibuat dengan melihat ekonomi dunia yang dinilai akan lebih baik dibandingkan pada 2015. Faktor lainnya adalah perbaikan kinerja perekonomian domestik berbekal dukungan investasi yang dilakukan pemerintah dan swasta serta konsumsi masyarakat.

"Ini akan membuat pertumbuhan kredit lebih baik. Nah, sekarang yang kira-kira 11 persen itu akan bisa naik menjadi 12-14 persen," katanya. 

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menyatakan, proyeksi OJK terhadap pertumbuhan kredit tahun depan sama dengan BI. "Tentu saja, dengan pertumbuhan ekonomi seperti itu, daya dukungnya ya di sekitar 12-14 persen. Lebih bagus lagi, pertumbuhan ekonomi ya lebih bagus lagi kreditnya," ujarnya. 

Waspada NPL

Optimisme sektor keuangan, khususnya perbankan, sah-sah saja diapungkan. Meskipun demikian, sejumlah tantangan berpotensi mengadang. Salah satunya adalah kredit bermasalah (nonperforming loan alias NPL).  Anggota Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Destry Damayanti menyebutkan, tantangan yang dihadapi perbankan ke depan terkait kredit bermasalah. 

Menurut Destry, ekonomi Indonesia pada 2016 masih berada dalam proses pemulihan. Oleh karena itu, bank diminta berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Destry pun meminta bank jeli melihat sektor mana yang rentan sekaligus sektor mana yang masih bisa tumbuh.

Selain itu, harga komoditas, seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga batu bara yang diperkirakan masih flat akan berpengaruh terhadap perusahaan yang bergerak di sektor komoditas. "Jadi, bank itu tahun ini dan tahun depan sebaiknya konsolidasi di dalam.  Jadi, ancaman NPL naik masih ada. Karena aktivitas bisnis belum normal," katanya.

Meski demikian, Destry yang juga menjabat sebagai Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini menilai, selain aktivitas bisnis yang belum normal, terdapat pula ancaman global. Perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor juga akan terpengaruh selama ekonomi Cina masih melemah. 

Imbasnya, ekspor Indonesia akan terkoreksi. Selain itu, tahun depan potensi kenaikan lanjutan dari suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) juga masih besar.  Hal itu akan membuat tekanan pada nilai tukar rupiah dan menyebabkan volatilitas.

Lebih lanjut, alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini menyebut, pertumbuhan kredit tahun ini diyakini bisa lebih tinggi dari 2015. Sektor infrastruktur dinilai akan menjadi pendorong pertumbuhan kredit. Proyeksi pertumbuhan kredit sebesar 15 persen dinilai masuk akal.

Tanggapan OJK

Muliaman memprediksi rasio kredit serat (NPL) gross masih bisa dijaga di kisaran 2,6-2,7 persen pada 2016. Untuk menjaga NPL, menurutnya, penerapan manajemen risiko bank harus dilakukan secara prima disertai back up yang memadai. 

Apalagi, Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sudah lebih dari 100 persen. Pada tahun ini bank diminta membentuk CKPN yang memadai, meskipun akan berpengaruh terhadap profitabilitas bank.

"Jadi, kita ingin semuanya mempunyai fundamental yang baik. Kalau dilandasi dengan berbagai macam fundamental itu sudah cukup baik. CAR sudah baik, NPL manageble, likuiditas oke.  Jadi, fundamental nggak ada masalah.  Kita dorong ini bisa lebih sehat," kata pria yang pernah menjadi salah seorang deputi gubernur BI ini.

Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) September 2015 yang dirilis OJK disebutkan total penyaluran kredit bank umum sampai September 2015 tercatat sebesar Rp 3.990,4 triliun, naik 11,0 persen (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 3.592,0 triliun. Sedangkan, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) bank umum tercatat sebesar Rp 4.464,0 triliun, naik 11,7 persen (yoy) dari tahun lalu sebesar Rp 3.995,8 triliun.

Sementara, rasio NPL gross berada di angka 2,7 persen. Sedangkan, nett-nya berada pada posisi 1,5 sampai dengan 1,7 persen. Hingga pengujung tahun, OJK optimistis posisi NPL tidak akan banyak mengalami perubahan.

ed: muhammad iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement