Senin 09 Nov 2015 13:00 WIB

Bung Tomo: Santri yang Pahlawan

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,Bung Tomo: Santri yang Pahlawan


"Andai tak ada takbir, saya tidak tahu dengan cara apa membakar semangat para pemuda untuk melawan penjajah." (Bung Tomo).

Namanya Sutomo. Panggilan karibnya Bung Tomo. Ia arek Suroboyo asli, lahir pada 1920 di Surabaya dan meninggal pada 1981 di Padang Arafah, Arab Saudi, tatkala sedang menunaikan ibadah haji.

Ia adalah sosok pemuda yang selalu bersemangat dan berai-api dalam mengemukakan pendapat. Karakter yang demikian itu memang, meminjam analisis sosiolog Nur Syam (2007), adalah karakter khas masyarakat pesisiran yang terbuka, egaliter, dan cenderung ekstrover. Dan Sutomo muda adalah kristalisasi karakter masyarakat khas pesisiran yang menjunjung tinggi kesetaraan dan antipenjajahan.

Sutomo muda selalu gelisah dengan keadaan yang terjadi pada masa penjajahan. Ia sangat bersedih melihat banyak ketidakadilan terjadi di depan matanya. Ia bukan saja menangis, ia bertekad dalam hati bahwa suatu saat ia akan berbuat demi terbebasnya bangsa dari cengkeraman penjajah.

Tekad itulah yang kelak kemudian hari membawanya pada sebuah sejarah besar di mana ia menjadi salah satu aktor utamanya. Ya, peristiwa itu adalah pertempuran dahsyat arek-arek Suroboyo dengan NICA.

Sejarah pertempuran Surabaya yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945 itu menurut Agus Sunyoto (2015) adalah sejarah pertempuran dahsyat yang pernah terjadi di nusantara. Banyak masyarakat sipil yang terlibat di dalamnya.

Mereka rata-rata hanya berbekal tekad dan semangat cinta Tanah Air dan agar terbebas dari segala macam bentuk penjajahan yang sangat merugikan. Dua bekal itulah yang mereka gamit mati-matian sampai berhasil dengan susah payah merebut kedaulatan Indonesia yang sesungguhnya.

Sosok religius

Banyak yang belum mengetahui sejarah di balik meletusnya peristiwa 10 November di Surabaya. Ia bukanlah perang yang tanpa sebab musabab. Ia bukan peristiwa tunggal. Ada banyak latar dan alasan yang menjadi pemantik semangat pertempuran dan perlawanan itu. Dan tentu saja pemantik utama perlawanan itu adalah fatwa Resolusi Jihad yang dimotori oleh KH M Hasyim Asy'ari dan ulama-ulama NU.

Fatwa Resolusi Jihad adalah landasan historis-filosofis yang menjadi bahan bakar serta energi perlawanan arek-arek Suroboyo sehingga mereka bertindak tanpa ragu sama sekali. Apalagi, kondisi sosiologi masyarakat Surabaya yang memang "terbiasa" dengan budaya tawuran, tidak mengherankan jika ada tawuran yang "diperbolehkan" atas dasar fatwa pemuka agama, maka tentu saja bisa kita bayangkan bagaimana reaksi mereka. Kalap dan tidak keruan aksinya.

Dalam pusaran momentum Resolusi Jihad itulah sesungguhnya Bung Tomo mulai banyak diperhitungkan. Ia tercatat beberapa kali sowan kepada KH M Hasyim Asy'ari ke Tebuireng. Mbah Hasyim--sapaan karib KH M Hasyim Ays'ari--adalah sosok sepuh yang sangat mengerti potensi. Ia tampaknya membaca bakat "pembakar semangat" yang ada dan dimiliki oleh Bung Tomo kala itu.

Kedekatannya dengan Mbah Hasyim itulah yang menjadi bukti autentik bahwa sesungguhnya Bung Tomo adalah sosok santri yang religius dan agamis. Tentu saja tema santri yang saya maksud bukan santri yang merujuk pada definisi usang dan keliru yang dibuat oleh Clifford Geertz itu.

Santri dalam hemat saya, sebagaimana dikatakan KH A Mustofa Bisri (2015) adalah siapa saja yang memiliki akhlak mulia dan memiliki kepatuhan terhadap agama. Dua kualifikasi itu melekat pada diri Bung Tomo.

Maka jelas dan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Bung Tomo adalah sosok santri yang religius. Pekikan lafaz Allahu Akbar yang diteriakkannya saat membakar semangat perlawanan arek-arek Suroboyo adalah bukti lain dari sisi kesantriannya. Belum lagi, kedisiplinannya dalam beribadah yang mengantarkannya sebagai seorang Muslim yang disayang Allah sehingga nyawanya diambil tatkala sedang menunaikan ibadah haji. Semuanya adalah bukti dari kadar kesantrian seorang Bung Tomo.

Yang patut untuk dikemukakan dan dapat kita jadikan teladan dari seorang Bung Tomo adalah sosoknya yang rendah hati dan selalu ingin tidak terlihat oleh khalayak. Ia hidup sangat bersahaja. Ia dimakamkan di pemakaman umum Ngagel, Surabaya. Keputusan itu ditunaikan keluarga demi memenuhi amanahnya. Negara baru mengakuinya sebagai pahlawan pada 2008, sesaat setelah GP Ansor mendesak pemerintah untuk mengeluarkan gelar kepahlawanan atas jasa dan dedikasinya dalam melawan penjajah.

Banyak yang kurang menyadari bahwa Bung Tomo adalah sosok yang kritis bukan saja kepada penjajah, tapi juga kepada para penguasa, khususnya Orde Baru. Jiwa antikemapanannya ini adalah bukti sahih bahwa ia adalah pahlawan sejati yang selalu melandaskan sikap dan gerakannya pada nurani dan kata hati.

Yang menarik, pada suatu kesempatan, Bung Tomo pernah bilang ia bukanlah seorang Muslim yang saleh. Bagi saya, pengakuan Bung Tomo adalah pengakuan yang semakin memperteguh sikap kesantriannya.

Ihwal sikap rendah hati dan sikap kesantriannya itu, saya teringat sebuah bait kitab Al-Hikam milik Ibnu Athoillah As-Sakadari. Dalam kitab tersebut disebutkan "udfun wujudaka fi ardhil khumul, fama nabata mimma lam yudfan la yatimma nitajuhu". Terjemahan bebas dari bait tersebut adalah "sembunyikanlah dirimu di dalam bumi ketidaktampakan (khumul). Sebab, sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak ditaman maka tak akan sempurna buahnya".

Bung Tomo tampaknya adalah sosok yang pas untuk melukiskan bait di atas. Bung Tomo, tentu saja dengan seluruh kebersahajaannya, adalah sosok yang memendamkan diri demi ingin mendapatkan buah yang sempurna atas perjuangannya selama ini.

Mengingat Bung Tomo, menurut hemat saya, juga mengingatkan pada apa yang pernah dikatakan oleh Soe Hok Gie. Ia pada suatu ketika pernah mengatakan, "Dan seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi."

Selamat Hari Pahlawan. n

A Helmy Faishal Zaini

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement