Selasa 31 Jan 2017 18:00 WIB

Soeharto, Kudeta Pakistan, dan Ajudan

Red:

Presiden Soeharto dalam sebuah acara, mengemukakan pendapatnya secara lisan mengenai konstitusi negara yang harus dipatuhi semua warga negara Indonesia, terutama mengenai jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan di Indonesia.

Dengan bahasa lisan yang khas, Soeharto berujar, "Undang-undang dasar ampat lima menyebutken, seorang presiden dapet melanjutken daripada jabatannya itu. Sebab masa jabatan daripada presiden itu adalah lima tahun, hehehe …, dan sesudahnya dapat dipilih kembali, hehehe!"

Pernyataan tersebut ditayangkan televisi milik pemerintah, TVRI, pada akhir 1989. Saat itu usianya sekitar 69,5 tahun. Usia yang sama pada saat Presiden Sukarno wafat. Mejelang usia 70 tahun, Presiden Soeharto sudah semakin sensitif terhadap para pembantunya di kabinet.

Namun, ada tanda-tanda bahwa Soeharto sedang mempersiapkan diri untuk tidak lagi menjadi  presiden pada periode berikutnya. Jadi pada periode 1988-1993 itu diperkirakan menjadi era akhir pemerintahan Soeharto.

Tanda-tanda itu kemudian muncul lagi. Pada 1990, Pak Harto membuat istilah baru tentang masa kepemimpinannya. Dia berkata sudah semangkin tua dan karena itu tidak akan terus selamanya menjadi presiden.

"Saya ini semangkin tua, tetapi biarpun begitu saya ini kan orang TOPP, hehehe .... Tetapi TOPP dengan dua huruf 'p'. Artinya daripada kata itu adalah tua, ompong, peot, pikun, hehehe …!" Seperti biasa, ungkapannya itu disertai dengan senyum khas the Smiling General.

Saat itu sebagai wakil presiden adalah Jenderal (Purn) Try Sutrisno. Tentara yang dikenalnya cukup lama. Apalagi, saat berpangkat letnan kolonel dan kolonel (Zeni), Try menjadi ajudan Presiden Soeharto selama empat tahun, pada 1974-1978. Try lulusan Akademi Militer, Jurusan Teknik Angkatan Darat (Akmil Jurtek/Atekad) Bandung, pada 1959. 

Ia merupakan abang kelas dari Piere Andreas Tendean, alumni Akmil Jurtek/Atekad Bandung, 1961. Letnan Satu (Zeni) Piere Tendean menjadi ajudan Menko Hankam/Kasab Jenderal AH Nasution. Pada peristiwa 30 September 1965, Tendean gugur di tangan pasukan pengawal Presiden Sukarno, Resimen Tjakrabirawa.

Sesungguhnya pada 1974 merupakan masa krusial stabilitas politik dan keamanan di Jakarta. Saat itu, ada sejumlah perwira menengah lulusan Seskoad 1972 yang berpeluang menjadi ajudan Presiden Soeharto. Mereka dari lulusan Akmil Bandung 1959, yakni Letkol (Zeni) BL Momongan (lulusan terbaik Seskoad 1972), Letkol (Zeni) Try Sutrisno, dan Letkol (Zeni) I Gede Awet Sara.

Dari lulusan Akmil Magelang 1960 yakni Letkol (Infanteri) Edi Sudrajat, Letkol (Infanteri) Sugiarto, dan Letkol (Kavaleri) Harsudiono Hartas. Namun, akhirnya Try Sutrisno yang dipilih setelah ia tampil mewakili generasi muda TNI AD pada seminar pewaris nilai-nilai 45 di Seskoad pada 1972.

Setelah selesai menjadi ajudan Presiden Soeharto, karier Try melesat mendahului teman-temannya dan abang kelasnya di Akmil Bandung 1956-1958.  Ia bak meteor menjadi kasdam Udayana, pangdam IV Sriwijaya, pangdam V Jaya, pangdam Jaya, wakil KSAD (kepala staf Angkatan Darat), KSAD, dan panglima ABRI. Hanya butuh waktu sekitar 10 tahun selepas dari ajudan RI-1, Try sudah menjadi orang nomor satu di Markas Besar ABRI, kini disebut Markas Besar TNI. 

Kudeta Pakistan

Saat Try menjadi ajudan, terjadi kasus kudeta di Pakistan. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Muhammad Zia ul-Haq melakukan kudeta terhadap Perdana Menteri (PM) Zulfikar Ali Bhutto pada 1977. Dua tahun kemudian, Ali Bhutto pun digantung. Hukuman mati yang diberikan kepada Ali Bhutto pada 1979 tercatat sebagai akhir yang paling menyesakkan dunia.

Jenderal Zia ul-Haq merupakan veteran tentara NICA Inggris dalam peristiwa pertempuran Surabaya, 10 November 1945. Namun, ia menolak menembaki arek-arek Suroboyo. Ia bergeming meski masyarakat internasional amat mengecam keputusannya. Ia beralasan, kudeta dilakukan karena Bhutto telah menjerumuskan Paki¬stan ke dalam krisis politik dan ekonomi yang tidak menentu.

Awalnya, Ali Bhutto begitu disukai rakyatnya. Di tangannya, Pakistan berhasil tumbuh menjadi negara industri. Lulusan pendidikan tinggi bidang politik dari perguruan bergengsi di AS dan Inggris itu dianggap mampu mengantar negerinya ke arah Pakistan Baru. Rakyat Pakistan mulai menjauhi dirinya terutama setelah mengetahui bahwa Bhutto melakukan korupsi besar-besaran.

Saat kudeta 5 Juli 1977, Zia ul-Haq belum genap setahun menjadi kepala staf Angkatan Darat Paki¬stan. Ia melakukannya dalam operasi bertajuk Fairplay. Kudeta tidak menimbulkan korban dan tergolong kudeta tak berdarah (bloodless coup). Kudeta itu terbilang feno¬menal karena Ali Bhutto bukanlah orang sembarangan. Ia adalah pendiri Partai Rak¬yat Pakistan, partai terbesar di Pakistan.

Pada 16 September 1978, Zia ul-Haq merangkap sekaligus jabatan sebagai presiden Paki¬stan. Dari situlah ia kemudian menciptakan aturan-aturan baru yang mem¬berikan kewenangan bagi dirinya sebagai penguasa negeri.

Peristiwa kudeta di Pakistan membuat Presiden Soeharto berpikir keras. Ia mulai khawatir peristiwa serupa bisa terjadi terhadap dirinya. Ia pun mulai melakukan kaderisasi kepemimpinan angkatan bersenjata mulai dari titik ajudan presiden. Tentu dengan harapan loyalitasnya tidak diragukan ketika menjadi pemimpin ABRI.

Try merupakan ajudan pertamanya dengan latar belakang akademi militer. Sejak 1967 hingga 1974, ajudan Presiden Soeharto belum berasal dari lulusan akademi. Maka, sejak itu, ajudan presiden menjadi posisi magang strategis sebelum menduduki jabatan-jabatan top di lingkungan militer dan kepolisian. Soeharto tidak ingin ada kudeta militer terhadap dirinya. Ia cenderung memilih loyalisnya yang akan menjadi penggantinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement