Selasa 31 Jan 2017 18:00 WIB

Si Iyang yang tak Bisa Merayakan Imlek

Red:

Pria peranakan Cina Benteng itu masih menggunakan pakaian pemungut sampah saat orang-orang Tionghoa lainnya banyak yang mengenakan baju baru berwarna merah untuk menyambut tahun baru Cina, Imlek. Pria renta berusia 65 tahun itu harus memungut lima karung sampah tiap hari untuk sekadar mendapat upah makan dan melanjutkan hidup.

Padahal, saat berjalan saja pria renta bernama Iyang itu terlihat seperti menggerus kakinya di tanah. "Boro-boro ikut Imlek, pake beli baju ya susah," ujarnya saat ditemui Republika di sekitar Kelenteng Boen Tek Bio, Pasar Lama, Tangerang, akhir pekan lalu.

Si Iyang mengandalkan hidupnya dengan membuang sampah yang ada di kelenteng. Ia menerima upah Rp 1,2 juta per bulan. "Di sini sajalah, buang sampah, masuk jam delapan, nanti istirahat sore, jam 12 malam buang sampah lagi," katanya menjelaskan.

Iyang menuturkan, keluarganya kini tak tinggal bersama dirinya. Istri dan kedua anaknya menetap di Salemba, Jakarta Pusat. Tak dijelaskan mengapa ia hidup terpisah dengan anak dan istrinya. Namun, ia mengaku keluarganya sesekali berkunjung ke Tangerang untuk menemuinya. "Ya, digaji Rp 300 ribu tiap pekan, di-cukupin buat makan, kadang makan di kelenteng kalau pengurusnya memasak tahu-tempe. Tapi kadang di warteg," ucapnya.

Tubuh yang tak lagi bugar sama sekali tidak membuat Iyang khawatir jatuh sakit suatu saat nanti. Ia masih terus bertutur tentang kesusahan hidupnya. Kadang-kadang ia harus ditegur dengan nada yang keras karena pendengarannya sudah tak normal lagi. "Saya Cina Benteng asli, nggak capek lah kerja gini (tukang sampah), duitnya buat makan," ujarnya.

Iyang mengaku rutin mengikuti pengobatan yang dilakukan Kelenteng Boen Tek Bio pada tiap pekan. Pengobatan bagi para lanjut usia (lansia) tersebut ia manfaatkan untuk berkonsultasi tentang kesehatan tubuhnya yang digerus usia. "Kalau sakit, ada dokter Maria yang obati. Dokter mah biasanya Minggu datang, mengobatinya di sana, kelenteng," katanya.

Warga sekitar kelenteng, Wawan (40), mengaku si Iyang sering mendapat rasa simpati dari warga sekitar kelenteng. "Dulu kerjaannya mulung sampah plastik gitu di sekitar, karena kasihan, dia diangkat jadi petugas sampah di kelenteng sekalian," ujarnya.

Kelenteng Boen Tek Bio berdiri di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang memeluk agama Islam. Sekitar jarak 50 meter dari kelenteng, berdiri Masjid Kalipasir yang juga menjadi situs sejarah di daerah tersebut.

Masjid Jami Kalipasir sudah berdiri sekitar abad ke-16. Tanda jejak keislaman di Kota Tangerang tersebut hingga saat ini masih berdiri megah. Hidup di tengah-tengah mayoritas Muslim, warga Tionghoa yang berada di sekitar kelenteng tak pernah merasa terganggu.

Kepala Humas dan Perpustakaan Kelenteng Boen Tek Bio, Oey Tjin Eng, menjelaskan, selama ini tak ada sama sekali konflik di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas Muslim. Kenyamanan tersebut terjalin hingga saat ini. Perayaan Imlek meriah tanpa ada kekhawatiran dari umat Konghucu yang merayakan pergantian tahun baru tersebut.

Di sisi lain, si Iyang pun kini terus mengais rezeki dengan membuang dan membersihkan sampah di sekitar kelenteng. Bagi si miskin seperti Iyang, tak ada yang spesial pada pergantian tahun Imlek. Hal yang berbeda adalah sampah yang semakin menggunung yang harus ia bersihkan demi mendapat sesuap nasi dan melanjutkan hidup. n cr02 ed: endro yuwanto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement