Selasa 31 Jan 2017 17:00 WIB

Industri Teknologi Sarat Imigran

Red:

Pagi setelah Donald Trump memenangkan pemilihan, salah satu pengusaha di Silicon Valley, Amr Shady, segera memanggil pengacara urusan imigrasinya. Ia panik setelah putrinya yang berusia 10 tahun mempertanyakan status mereka di Amerika Serikat.

 

Pendiri perusahan rintisan (start up) analisis, Reveel, ini baru saja bermigrasi dari Mesir ke Bay Area pada 2015 lalu. Setelah kemenangan Trump, Shady bersama keluarganya pun terpaksa harus mencari tahu bagaimana status imigrasinya ke depan.

 

Lebih jauh, kebijakan Trump ini sangat mengusik industri teknologi di AS. Banyak yang mempertanyakan nasib visa H-1B yang biasanya diberikan khusus kepada para pekerja asing dengan keterampilan tiggi.

 

Sektor teknologi memang sangat bergantung pada para insinyur perangkat lunak kelahiran asing untuk memenuhi kebutuhan pekerjanya. Sektor ini telah lama melobi pemerintah untuk mengangkat pembatasan pada program visa H-1B sehingga memungkinkan lebih banyak pekerja asing untuk perusahaan-perusahaan AS.

 

Perintah Trump langsung mengguncang perusahaan teknologi besar, seperti Facebook. CEO Mark Zuckerberg pun mengkritik tindakan terbaru Trump tersebut dalam akun Facebook pribadinya.

 

Zuckerberg mengingatkan jutaan pengikutnya bahwa istrinya, Priscilla Chan, merupakan putri seorang pengungsi. Tak hanya itu, menurut Zuckerberg, kakek buyutnya juga merupakan pendatang keturunan Jerman, Austria, dan Polandia. "Amerika Serikat adalah negeri para imigran, dan kita harus bangga akan hal itu," kata Zuckerberg.

 

Banyak CEO perusahaan teknologi di AS menyuarakan hal yang sama dan memberikan memo internal terkait perintah terbaru Trump itu. Bahkan, para pemimpin dari industri teknologi yang dekat dengan pemerintahan Trump juga mengkritik perintah tersebut.

 

CEO Uber, Travis Kalanick, yang menjadi bagian dari panel penasihat bisnis pemerintahan Trump, mengatakan banyak dari pengemudi Uber merupakan imigran dari negara-negara yang dilarang Trump. Mereka yang sedang berada di luar AS, kini dikhawatirkan akan kesulitan masuk lagi ke negara itu.

 

Uber, menurut Kalanick, sedang mempertimbangkan kompensasi kepada para pengemudi mereka dalam tiga bulan ke depan. Menurut Kalanick, ia akan membahas isu ini saat pertemuan pertama panel penasihat bisnis Trump pada Jumat (3/2) mendatang di Washington.

 

CEO Tesla Motor dan SpaceX Elon Musk yang bertemu dengan Trump pekan lalu di Gedung Putih mengatakan di Twitter-nya, perintah larangan dari negara-negara, terutama Muslim, ini bukan cara terbaik mengatasi masalah. Sebab, menurutnya, banyak orang yang terkena dampak negatif larangan Trump ini justru pendukung kuat AS. "Mereka telah melakukan dengan benar, tak salah dan tak layak ditolak," kata Musk.

 

CEO Microsoft Satya Nadella juga menyuarakan dukungannya pada imigrasi. Dilansir Tech Crunch, ia mengatakan sebagai seorang imigran dan CEO, Nadella melihat dampak positif imigran pada perusahaan.

 

"Saya telah mengalami dan melihat dampak positif imigrasi pada perusahaan kami, negara, dan dunia. Kami akan terus menyuarakan topik penting ini," kata Nadella.

 

CEO LinkedIn Jeff Weiner mencatat banyak perusahaan Fortune 500 didirikan oleh imigran atau anak-anak mereka. Semua etnis, menurutnya, harus memiliki akses pada kesempatan.

 

Dari memo yang diperoleh Tech Crunch, CEO Apple Tim Cook juga mengatakan, perusahaan akan membantu karyawannya yang terkena dampak dari kebijakan Trump. Menurut Cook dalam percakapannya dengan para pejabat di Washington, Apple telah menunjukkan posisinya mengenai betapa pentingnya imigran bagi perusahaan dan bangsa. "Apple tak akan ada tanpa imigran," katanya.

***

Berimbas pada Ekosistem

 

Industri teknologi memang telah lama menyoroti hubungan antara imigran dan budaya serta ekonomi Amerika. Banyak dari tokoh penting yang menggerakkan industri teknologi merupakan keturunan imigran. Seperti halnya Steve Jobs yang berdarah Suriah, serta sejumlah petinggi Twitter, Yahoo, dan eBay yang ternyata merupakan keturunan Iran.

 

Tak hanya bagi perusahaan teknologi, perintah terbaru Trump ini juga menampar banyak perusahaan modal ventura. Apalagi, perintah ini justru datang selang dua pekan sejak Department of Homeland Security meloloskan aturan yang memungkinkan pengusaha asing bekerja di AS hingga lima tahun.

Kebijakan tersebut diusulkan oleh mantan presiden Barack Obama pada musim panas lalu. Seorang partner di perusahaan modal ventura 500 Startups, Zafer Younis, mengaku sempat optimistis dengan kebijakan baru Department of Homelad Security itu.

Menurutnya, hal itu memiliki potensi besar yang positif bagi pertumbuhan teknologi. Namun, perintah eksekutif Trump, Jumat lalu, menurut Younis, justru meningkatkan ketidakpastian dan risiko investasi internasional.

Menurutnya, kebijakan baru Trump ini justru akan berdampak buruk terhadap industri. "Ini merubah profil risiko secara tiba-tiba," kata Younis.

 

Ia juga khawatir akan dirinya dan keluarga. Younis merupakan keturunan Yordania yang telah tinggal di Bay Area selama dua tahun terakhir.

Meski Yordania tak masuk dalam daftar negara yang dilarang Trump, tapi itu tetap negara mayoritas Muslim, tetap saja membuatnya khawatir.

***

Harapan yang Meleset

 

Para CEO teknologi secara perlahan mengangkat suara mereka soal kebijakan Trump. Mereka memprotes kebijakan yang dinilai dapat merugikan banyak pihak, khususnya dalam industri teknologi.

Padahal, Firma komunikasi internasional Burston Marsteller dan Penn Schoen Berland (PSB) sempat melakukan riset mengenai potensi kepemimpinan Donald Trump terhadap elite teknologi di AS. Penelitian tersebut dilakukan sejak 6 hingga 13 Desember 2016 dengan melibatkan 1.000 peserta dari masyarakat awam dan 500 elite teknologi.

Hasil penelitian bertajuk "Burston Marsteller Age of Trump Technology Survey" tersebut menunjukkan 75 persen elite teknologi AS berpendapat masa depan industri teknologi akan menjadi cerah di bawah kepemimpinan Trump.

Namun, kini kenyataan berkata lain. Perkembangan dunia teknologi yang berpusat di Sillicon Valley ternyata tak bisa dilepaskan dari kehadiran imigran. Mereka pun ikut terguncang dengan adanya kebijakan baru ini. Beberapa di antaranya adalah:

•    Microsoft

Dikuti dari Geekwire, sebanyak 76 karwayan di Microsoft adalah imigran dari ketujuh negara yang terkena pelarangan imigrasi dari Trump. Sang CEO, Satya Nadella, adalah imigran yang lahir di India.

Ia kemudian hijrah ke Universitas Wisconsin, Milwaukee, untuk belajar ilmu komputer. "Kami di Microsoft akan terus memperjuangkan hak para imigran dalam hal ini," kata Nadella menegaskan.

•    Google

Chief Executive Google Sundar Pichai merupakan pria keturunan India. Ia bergabung dengan Google pada 2004 saat menjabat sebagai pemimpin manajemen produk dan inovasi perangkat lunak untuk klien Google.

Kini, pria yang meraih gelar sarjananya di Indian Institute of Technology Kharagpur, India, ini langsung membuat memo. Isinya, mendesak karyawannya yang bepergian ke luar negeri dan terpengaruh perintah Trump untuk segera mencari bantuan dari tim imigrasi perusahaan. Pichai mengatakan, lebih dari 100 karyawannya terkena dampak dari kebijakan imigrasi ini.

•    Box

Box adalah usaha rintisan yang didirikan Aaron Levie bersama rekannya yang merupakan imigran asal Iran. Tak hanya rekannya, di Box, Levie juga cukup memiliki banyak karyawan yang hijrah dari negara-negara Islam.

Bersama-sama, mereka mengembangkan layanan penyimpanan premium dengan valuasi mencapai 2 miliar dolar AS. "Kebijakan yang menyerang imigran dengan kemampuan yang tinggi seperti ini adalah bencana," ujar Levie. N ed: setyanavidita livikacansera

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement