Selasa 31 Jan 2017 17:00 WIB

Makar dan Rivalitas Elite Soeharto

Red:

Diskusi terbatas diikuti sejumlah aktivis 1966 membicarakan rencana "makar" terhadap Presiden Soeharto. Diskusi yang difasilitasi Fahmi Idris di kediamannya di Jakarta itu membicarakan isu paling panas: mengganti Presiden Soeharto lewat jalan di luar konstitusi.

Yayasan Pembangunan Pemuda Indonesia (YPPI) mengundang sejumlah aktivis 1966. Mereka di antaranya tergabung di Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Dari Golkar, selain Fahmi Idris, hadir pula Cosmas Batubara dan Abdul Gafur. Dari PDI, Suryadi; dan dari PPP, Husni Thamrin. Hadir pula Sofyan Wanandi dan Ketua harian YPPI Firdaus Wajdi. Itulah pertemuan rahasia yang dilakukan pada suatu malam di paruh pertama 1991, seperti tertulis dalam buku wartawan senior Salim Said berjudul Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.

Ironis, sebab Presiden Soeharto adalah penasihat dalam yayasan tersebut bersama Jenderal (Purn) Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani. Namun, menurut Firdaus Wajdi, dalam diskusi tersebut Benny Moerdani justru berpandangan bahwa Presiden Soeharto justru sudah membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Pak Harto saat itu sudah berusia 70 tahun.

Yang menakjubkan, Benny, saat itu masih menjabat sebagai menteri pertahanan dan keamanan (menhankam). "Pak Harto sudah tua, bahkan sudah pikun, sehingga tidak bisa lagi mengambil keputusan yang baik. Karena itu, sudah waktunya diganti!" kata Benny yang saat itu berusia 59 tahun.

 

Ketika peserta diskusi menanyakan bagaimana caranya, Benny justru balik bertanya kepada Suryadi sebagai ketua umum PDI dan Husni Thamrin yang mewakili PPP. "Bagaimana dengan PDI dan PPP, apakah siap?"

Keduanya menyatakan, partainya hanya pelengkap dan tidak punya kekuatan. "PDI hanya partai kecil, tidak usah diperhitungkan," jawab Suryadi. Jawaban diplomatis dikemukakan Husni Thamrin. "Ini harus hati-hati. Soeharto itu orang Jawa. Tidak ada yang bisa menerka dia."

Benny kemudian bertanya kepada aktivis Golkar. Namun, tidak ada yang berani menjawab pertanyaan tersebut. Selanjutnya, ia menawarkan gerakan massa sebagai jalan untuk menurunkan Soeharto.

Firdaus menanggapi. "Kalau menggunakan kekuatan massa, maka yang akan dikejar adalah orang-orang Cina dan gereja. Karena itu, cara yang lebih aman adalah menguasai MPR. Melalui MPR, Soeharto bisa diturunkan dengan lebih aman."

Ide Benny Moerdani ditolak peserta diskusi sehingga disepakati bahwa cara mengganti Presiden Soeharto dilakukan dengan cara konstitusional, melalui Sidang MPR.

Pertemuan di rumah Fahmi Idris bocor dan sampai ke telinga Soeharto. Sang Presiden pun membuat langkah politik, mengganti sejumlah orang dalam Fraksi Golkar (Karya Pembangunan) di MPR.

Sebenarnya tidak ada hal yang aneh dari ucapan Benny mengenai sudah uzurnya Pak Harto.  Sebab, setahun sebelumnya, Pak Harto sudah mengakuinya. Putri sulungnya, Tutut, suatu ketika pada awal 1990 pernah melontarkan kalimat, "Bapak (Pak Harto—Red) sudah cukup sampai di sini." Tak lama kemudian, Pak Harto mengatakan, "Saya miris," ketika dimintai komentar tentang kelanjutan jabatannya.

Pada tahun yang sama, Pak Harto menciptakan istilah baru tentang masa kepemimpinannya. Dia berkata sudah semangkin tua sehingga tidak akan terus selamanya menjadi presiden.

"Saya ini semangkin tua, tetapi biarpun begitu saya ini kan orang TOPP hehehe .... Tetapi TOPP dengan dua huruf 'p'. Artinya, daripada kata itu adalah tua, ompong, peot, pikun, hehehe …," katanya dengan senyum khas seakan-akan menyiratkan tidak akan menjadi presiden lagi.

Peristiwa itu merupakan kelanjutan dari dua tahun sebelumnya. Pada 1989, sepulang dari kunjungan kenegaraan ke Beograd, Yugoslavia, Presiden Soeharto berkata, "Biar jenderal atau menteri, yang bertindak inkonstitusional akan saya gebuk."

Pernyataan Soeharto itu memang tidak secara eksplisit ditujukan kepada seseorang. Namun, akhirnya secara runtut diketahui bahwa kalimat tersebut ditujukan kepada Jenderal Benny Moerdani.

Hal tersebut sesungguhnya masih serangkaian dengan peristiwa Sidang Umum MPR 1988. Saat itu, anggota parlemen yakin Soeharto akan terpilih kembali untuk periode kelima dan terakhir sebagai presiden. Oleh karena itu, posisi wakil presiden menjadi sangat penting, apalagi jika terjadi sesuatu dengan Pak Harto sebelum berakhirnya masa jabatan 1988-1993.

Jelang Sidang Umum MPR 1988, Soeharto mulai menunjukkan tanda-tanda menginginkan Letjen (Purn) Sudharmono menjadi wakil presidennya. Kader yang disiapkannya dari dalam istana dan menjadi ketua umum "partai" Golkar. Soeharto menyiratkan ingin wakil presidennya memiliki dukungan dari kekuatan sosial politik yang besar.

Namun, rencana tersebut ditentang sejumlah elite ABRI. Memang, Pak Dhar, sapaan akrabnya, adalah seorang tentara, teatpi ia menghabiskan sebagian besar kariernya di belakang meja.  Ia bukan tentara yang memimpin pasukan. Hal itu membuat dirinya dipandang tidak berwibawa oleh sebagian jenderal.

Soeharto menyadari hal itu dan ia berkesimpulan elite yang memelopori pandangan itu adalah Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani. Apalagi ada dugaan Benny justru menginginkan jabatan wakil presiden. Maka, dua pekan sebelum sidang umum, Pak Harto mengganti panglima ABRI dari Jenderal Benny Moerdani kepada Jenderal Try Sutrisno. Jabatan KSAD yang ditinggalkan Try Sutrisno diserahterimakan kepada Letjen Edi Sudradjat.

Dengan pergantian jabatan pangab yang mendadak tersebut, otomatis ketua Golkar unsur ABRI berpindah tangan kepada Try. ABRI yang semula akan menyorongkan nama Benny kepada Presiden Soeharto sebagai wakil presiden akhirnya berubah. Atas petunjuk Benny yang masih dihormati sebagai senior dan masih menjabat sebagai panglima Kopkamtib, nama Try yang diajukan kepada Presiden Soeharto. Try yang baru dua jam menjabat pangab tidak bereaksi atas usulan Benny tersebut.

Try, bekas ajudan Presiden Soeharto pada 1974-1978, tentu tidak berani membuat keputusan yang bertentangan dengan Pak Harto. Konstelasinya saat itu, Sudharmono dicalonkan Golkar dari unsur sipil (jalur G) dan birokrat (jalur B). Sementara, Golkar unsur militer (jalur A: ABRI) yang dimotori Benny Moerdani menyodorkan Try Sutrisno.

Benny yang dipecat secara mendadak oleh Presiden Soeharto terus memberikan perlawanan. Puncaknya, muncul rumor Sudharmono terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan itu ditepis langsung oleh Presiden Soeharto.

Pada Sidang Umum MPR Maret 1988, kontroversi terus mewarnai nominasi Sudharmono sebagai wakil presiden. Ketua Umum Djaelani Naro tanpa diduga mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Kemudian, anggota Fraksi ABRI, Brigadir Jenderal Ibrahim Saleh, alumni Akmil Bandung 1960, menginterupsi sidang. Dia menyampaikan pidato tidak setuju Sudharmono menjadi calon wakil presiden.

Naro baru mundur pada detik-detik akhir pemilihan setelah dilobi oleh Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin. Dengan pengunduran diri Naro, Sudharmono akhirnya terpilih sebagai wakil presiden menggantikan Jenderal (Purn) Umar Wirahadikusumah. N selamat ginting

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement